Minggu, 14 November 2010

SEJARAH SINTREN DI KABUPATEN KUNINGAN

SINTREN, adalah sebutan kepada peran utama dalam satu jenis kesenian. Tapi akhirnya sebutan itu menjadi satu nama jenis kesenian yang disebut sintren. Sintren sendiri berasal kata sesantrian artinya meniru santri bermain lais, debus, rudat atau ubrug dengan menggunakan magic (ilmu ghaib).
Seni sintren ternyata tidak hanya hidup di daerah Kabupaten Majalengka, Indramayu dan Cirebon. Tapi juga hidup di Desa Dukuhbadag, Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan.

Menurut, Udin Sahrudin, tokoh sintren di Desa Dukuhbadag, munculnya seni sintren di Kuningan belum bisa dipastikan. Sebab sampai sekarang belum ada penelitian ilmiah, tapi yang jelas sejak tahun 1930 sudah banyak warga Desa Dukuhbadag yang mengadakan pertunjukan seni sintren terutama pada acara pesta khitanan dan pernikahan.

“Dulu yang pertama kali menjadi pimpinan seni sintren di Desa Dukuhbadag yakni Ibu Warjiah, tapi saya tidak tahu pasti dari mana awal perkembangan seni sintren itu,” kata Udin Sahrudin.

Berdasarkan cerita orang tua dulu, lanjut dia, seni sintren di Dukuhbadag dibawa oleh orang dari daerah lain yang sengaja untuk mencari nafkah yakni sebagai Kukurung. Kukurung merupakan bahasa dialek masyarakat Desa Dukuhbadag yang ditujukan kepada orang yang sedang mecari nafkah dengan cara menjual jasa memanen padi.

Dia menjelaskan, mereka (kukurung) diperkirakan datang dari daerah perbatasan Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan dengan Kecamatan Banjarharja Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Diantaranya saja Desa Cibendung, Cikakak, Karangjunti, Pande, Dukuhjeruk dan Desa Randegan. Ada pula yang datang dari daerah perbatasan Kabupaten Cirebon, diantaranya Desa Tonjong, Cilengkrang, Ciledug, Pabuaran, Cikulak dan Desa Leuweunggajah.

Kukurung-kukurung itu datang bukan saja ke Desa Dukuhbadag, tapi ke desa lain di Kecamatan Cibingbin antara lain Desa Bantarpanjang, Cisaat, Citenjo, Cibingbin, Cibeureum dan Desa Tarikolot, bahkan sampai Desa Sukasari dan Tanjungkerta Kecamatan Karangkancana. (Desa Cibeureum dan Desa Tarikolot, kini Kecamatan Cibeureum)

“Untuk melepas lelah, kukurung-kukurung itu mengadakan pertunjukan seni sintren, di halaman rumah warga tanpa mendapat upah dari pemilik rumah, kecuali jamuan alakadarnya,”imbuhnya.

Dikatakan, pertunjukan sintren tidak selamanya memerlukan panggung, mereka bermain di halaman rumah beralaskan tikar, para penabuh gamelan dan juru kawih sambil duduk, sedangkan sintren menari sambil berdiri lemah gemulai mengikuti irama gamelan.

“Konon kabarnya, anak yang sudah dijadikan sintren harus mengalami 21 kali pentas, lebih sempurna 40 kali pertunjukan. Hal ini dipercaya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan bagi pribadi sintrennya. Setelah 40 hari biasanya rombongan seni tersebut mengadakan hajatan selamatan agar dijauhkan dari mara bahaya,” paparnya. *
sumber:
http://prameswariselalu.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar