Selasa, 31 Mei 2011

MEMBANGUN SEKOLAH BERBASIS SPIRITUAL

Oleh : Subagio,M.Pd

Era sekarang yang identik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan implikasi yang demikian dahsyat bagi kehidupan manusia yang serba tak menentu (turbulen), hal tersebut diindikasikan dengan transformasinya newtonian menjadi quantum dan economical capital menjadi intellectual capital. Perubahan-perubahan ini juga akan mentransformasi realitas konsumtif menuju realitas reinventor bahkan juga mengkonstruk realitas menjadi realitas kompetitif-global. Bahkan diantaranya adalah kompetisi (persaingan) yang semakin tajam dan perubahan di masa yang akan datang tidak hanya konstan, tetapi berubah menjadi pesat, radikal, dan serentak. Oleh sebab itu, pada era globalisasi –era persaingan dan perubahan- kesuksesan tidak dapat dirancang dengan “bagaimana caranya”. Namun, peluang-peluang keberhasilan hanya akan ditentukan dan didapatkan oleh pribadi-pribadi yang mampu menemukan dan mengembangkan kepemimpinan dalam dirinya dalam melakukan perubahan-perubahan yang sejalan dengan alur zaman.
Begitu juga dengan dunia pendidikan tidak akan lepas dari unsur perubahan. Maka sangat wajar, jika filosofis learning oleh Peter M. Senge diartikan dengan study and practice constanly. Karena hal tersebut tidak lepas dari natural law yang akan merongrong pendidikan untuk menapak tangga yang lebih tinggi dan juga harus menempatkan eksistensinya sesuai dengan tuntutan realitas. Tetapi walaupun dalam realitas tersebut terus mengalir perubahan-perubahan yang menuntut hal lain pada dunia pendidikan dan juga pada manusia tetapi curiosity harus tetap menjadi spirit dalam hidup dan eksis dengan eksistensinya sendiri, artinya kedinamisan realitas harus diimbangi dengan gerakan konstruktif-solutif. Meminjam statemen dari Betrand Russel, seperti yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud (2002), bahwa “it is better to be clearly wrong than vaguely right”, maka sikap seperti itu seharusnya yang dikonstruk dalam tatanan kehidupan pendidikan dan manusia sendiri untuk memunculkan suatu sikap optimistik-selektif dan juga untuk menumbuhkan spirit dalam mencari problem soulving untuk menjawab tuntutan realitas terhadap pendidikan (way of life long education).
Sumber Daya Manusia (SDM) manusia modern adalah manusia yang mempunyai potensi kualitas intelektual yang memadai. Namun terkadang potensi tersebut menjadi kosong karena tidak diimbangi oleh kualitas iman atau emosional yang baik. Lalu, manusia modern mencari “obat” untuk pencapaian potensi spiritualitas dan emosinya. Ia berharap “obat” itu bisa digunakan berulang-ulang. perkembangan masa depan, untuk menjadi SDM yang sukses dalam arti bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi dan golongannya; maka syarat IQ saja tidak lagi memenuhi kriteria. Diperlukan EQ (Emotional Quotient: tingkat emosional atau kepribadian), CQ (Creativity Quotient: tingkat kreatifitas) dan SQ (Spiritual Quotient), tingkat religiusitas atau keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan.
Dengan adanya statemen ini, maka pendidikan yang merupakan suatu sistem yang dalam perspektif ontologik adalah suatu upaya pemanusiaan manusia (humanisasi) dengan cara yang manusiawi untuk mencapai nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Hasan Langgulung (1985) memberi makna pada pendidikan secara luas sebagai suatu upaya merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu dalam masyarakat. Akan tetapi, upaya-upaya ke arah terwujudnya konstruksi tersebut ditanggapi secara sinis oleh para ahli, setelah mengamati relevansi pendidikan secaara internal maupun eksternal dengan perubahan yang terjadi. Keabsahan konstruksi pendidikan secara umum, termasuk dalam hal ini juga pendidikan Islam, sebenarnya telah lama dipertanyakan. Seperti sikap pesimis sosok Neil Postman (2002) dalam bukunya “Matinya Pendidikan” yang mengatakan bahwa manusia akan berhasil menata masa depannya tanpa harus “menerima” pendidikan.
Dengan demikian, sistem pendidikan nasional harus mampu memberikan tawaran solutif yang mampu keluar dari lingkaran yang tanpa nilai dan moral yang selama ini terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia dengan memunculkan kecerdasan yang mampu mengisi kekosongan itu yaitu dengan mensinergikan dan mengintegrasikan antara kecerdasan intelektua (IQ), Kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Tanpa kesinergian antara aspek “vertikal” dan aspek “horizontal” akan memangkas salah satu aspek yang lain.
Artinya, fenomena perkembangan abad mutakhir menghendaki adanya suatu sistem pendidikan integral. Karena perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan peserta didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, kemampuan komunikasi , dan kesadaran antara IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan IMTAQ (Iman dan Takwa) yakni meliputi IQ (Intellectual Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spriritual Quotient)
Oleh sebab itu, wilayah Emotional Spiritual Quotient (ESQ) merupakan wilayah kepemimpinan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), Money, dan lain sebagainya. Perfomance dari pemimpin yang dimunculkan merupakan pedoman bagi kehidupan paradigma organisasi kependidikan. Dengan kata lain, apabila Emotional Spriritual Quptient (ESQ) diaplikasikan dalam tataran kepemimpinan kependidikan, ini akan bermanfaat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan organisasi kependidikan dengan pertumbuhan nilai dan moral. Pada konteks ini Emotional Spiritual Quotient (ESQ) digunakan sebagai kerangka dasar dalam bertindak oleh bawahan, sehingga nilai dan moral kemanusiaan akan mampu menjadi hal yang biasa dilakukan.
Jika ketiga kecerdasan ini yaitu IQ, EQ, dan SQ dikelola dengan baik, maka akan lahir manusia-manusia yang mengetahui untuk apa ia diciptakan; apa tujuan hidupnya; dan hendak kemana kelak ia pergi. Fungsi IQ adalah “what I think” (apa yang saya pikirkan) untuk mengelola kekayaan fisik atau materi (physical capital); fungsi EQ adalah “what I feel” (apa yang saya rasakan) untuk mengelola kekayaan sosial (Social Capital); dan fungsi SQ adalah “who am I” (siapa saya) untuk mengelola kekayaan spiritual (spiritual capital). Inilah makna tertinggi kehidupan (the ultimate meaning) yang menjadi tuntutan yang harus dijawab oleh semua manusia.
Dengan paradigma memadukan antara aspek “horizontal (EQ)” dan “vertikal (SQ)”, khususnya yang berkaitan dengan aspek ESQ Model, yang dipadu sedemikian harmonisnya dalam setiap policy yang muncul di ranah program sekolah, mampu membawa setiap Sumber Daya Manusia (SDM) terhanyut dalam “spiritualisme progresif”. Dikatakan progresif, karena ide-ide program sekolah terbungkus aspek spiritual yang disodorkan oleh kepala sekolah harus mengggugah setiap potensi untuk berkreasi dan berinovasi dalam kehidupan dilingkungan sekolah dengan menghasilkan “pengabdian” terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak. Ide-ide program sekolah yang terbungkus aspek spiritual yang dikembangkan oleh kepala sekolah tidak membuat Sumber Daya manusia (SDM) di sekolah tersebut menjadi “bersikap mementingkan diri sendiri”, bersikap individualistik ataupun sufistik yang menjauhi duniawi, akan tetapi lingkungan sekolah menjadi lebih kondusif dan menjadikan lebih harmonis dengan tatanan kinerja yang produktif.
Dengan adanya sistem sekolah yang kondusif dan tatanan tenaga pengajar serta karyawan yang produktif, akan menciptakan suatu kondisi yang kondusif pula dalam proses belajar peserta didik. Proses belajar ini merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang pelajar untuk mengerti suatu hal yang sebelumnya tidak diketahui, dan proses belajar merupakan tujuan dari sistem sekolah. Ketercapaian tujuan sistem sekolah atau pendidikan secara umum sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah satu pemimpin pendidikan. Hal ini juga disinyalir oleh Wahjosumidjo (2004) yang mengatakan bahwa kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seorang yang diberi tanggungjawab untuk memimpin sekolah. Artinya keberhasilan kepala sekolah sangat ditentukan oleh keberhasilan tujuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah tersebut.
Pemimpin adalah inti dari manajemen, hal ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seorang yang mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian atau pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama.
George R. Terry seperti yang dikutip oleh Miftah Thoha (2009) mengartikan kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi. Sedangkan Robbins, seperti yang dikutip oleh Sudarwan Danim dan Suparno (2009), mendefinisikan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok kearah pencapaian tujuan. Owens mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu interaksi antara satu pihak sebagai yang memimpin dengan pihak yang dipimpin. Sedangkan James Lipham, seperti yang diikuti oleh M. Ngalim Purwanto (2007), mendefinisikan kepemimpinan adalah permulaan dari suatu struktur atau prosedur baru untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran organisasi atau untuk mengubah tujuan-tujuan dan sasaran organisasi. J Salusu (2000) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kekuatan dalam mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum. Dan E. Mulyasa (2004) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapain tujuan organisasi.
Dalam tulisan ini, kepemimpinan pendidikan merupakan suatu bentuk aktivitas dalam mempengaruhi dan menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan pendidikan.
Apabila pendidikan saat ini sangat sumbang untuk didengarkan, salah satunya dikarenakan perilaku menyontek (cheating atau academic cheating). Perilaku ini merupakan fenomena yang sudah lama ada dikalangan pelajar. Peserta didik yang melakukan hal tersebut, seperti yang disimpulkan Mujadilah(2008), karena faktor personal yang meliputi kurang percaya diri, sef-esteem, dan need for approval, ketakutan terhadap kegagalan, dan kompetisi dalam memperoleh nilai dan peringkat akademis. Hal ini berarti bahwa secara personal peserta didik kurang memiliki rasa tanggungjawab secara moral kepada sesama manusia bahkan kepada Tuhannya. Faktor ini mengindikasikan bahwa peserta didik tidak memiliki kecerdasan emosional spiritual (Emotional Spiritual quotient (ESQ))
Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, inteligensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu: 1) Kemampuan untuk belajar; 2) Keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan 3) Kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan inteligensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan.
Oleh sebab itu, kecerdasan bukanlah benda yang dapat dilihat atau dihitung. Kecerdasan adalah potensi –bisa dianggap potensi pada level sel- yang dapat atau tidak dapat diaktifkan, tergantung pada nilai dari suatu kebudayaan tertentu, kesempatan yang tersedia dalam kebudayaan itu dan keputusan yang dibuat oleh pribadi dan atau keluarga, guru sekolah dan lain-lain. Begitu juga kecerdasan emosional spiritual merupakan potensi yang ada dalam diri manusia dalam membentuk karakter dirinya dengan sesama mahkluk Tuhan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Dalam kerangka tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah kemampuan akal budi manusia berdasarkan kepekaan hati bahwa keberadaannya selalu bersinggungan dengan sesamanya, mahkluk lain, dan alam sekitar yang didasari oleh kekuatan iman kepada Allah. Ary Ginanjar Agustian (2007) mendefinisikan Emotional Spriritual Quotient (ESQ) Model sebagai sebuah kecrdasan yang meliputi emosi dan spiritual dengan konsep universal yang mampu menghantarkan pada predikat memuaskan bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menghambat segala hal yang kontraproduktif terhadap kemajuan umat manusia. Jadi Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah kemampuan manusia yang meliputi kecerdasan emosional dan spiritual yang mampu membangun hal-hal yang konstruktif dan juga mampu menghambat hal-hal yang kontraproduktif bagi dirinya serta bagi orang lain berlandaskan pada kekuatan iman kepada Tuhan.
Subagio,M.Pd, adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan

Sabtu, 28 Mei 2011

Peserta UN SMP/M Ts di Kuningan Diprediksi 100% Lulus

SUKAMULYA : Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora) Kabupaten Kuningan yakin jika tingkat kelulusan khususnya peserta UN SMP/MTs di Kabupaten Kuningan tahun ini seratus persen lulus.
Hal itu dilihat dari hasil ujian sekolah dan nilai raport siswa pada beberapa semester cukup menggembirakan. Nilai itu akan mendukung dan berpeluang dalam kelulusan, karena UN tahun ini berbeda dibandingkan tahun sebelumnya.
Kepala Seksi SMP Bidang Pendidikan Dasar Disdikpora Kabupaten Kunigan , Hj. Sri Sunarsih, kepada kuninganmedia.com mengatakan, nilai kelulusan minimal angka 4 sudah
terukur hampir semua siswa peserta UN.
Selain itu pertimbangan ujian sekolah dan nilai raport yang menggembirakan memberikan peluang guna membantu kelulusan, karena nantinya menjadi nilai gabungan mata pelajaran yang diujianasinalkan dengan nilai UN dengan pembobotan 40 persen untuk nilai sekolah dan 60 persen untuk nilai UN.
“Peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata semua nilai akhir mencapai paling rendah 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0,” kata Sri.
Di Kuningan sendiri, total peserta UN SMP sebanyak 13.376, dan MTs
sebanyak 4.552 siswa. Yang tidak ikut UN sendiri ada 37 siswa SMP, dan
20 siswa MTs. Mereka kebanyakan adalah siswa dari sekolah terbuka.
Sri berharap kepada seluruh siswa khususnya SMP yang ikut UN, agar tidak resah dengan
hasil UN yang rencananya akan diumumkan pada 4 Juni mendatang. (KM-03)*
Sumber :
http://kuninganmedia.com

Senin, 23 Mei 2011

Implementasi Lesson Study pada Program Induksi Guru Pemula

Oleh : Subagio,M.Pd

Program induksi guru pemula (PIGP) progam yang sudah mulai dikembangkan dan dilegalkan dalam sistem pendidikan di Indonesia melalui Permendiknas no 27 tahun 2010. Belum adanya sistem induksi yang diatur secara formal ditengarai menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas guru di Indonesia.
Penulis termasuk salah seorang peserta kegiatan Training of Trainer ( ToT) Program Induksi Guru Pemula (PIGP) bagi kepala sekolah, pengawas sekolah dan widyaiswara dari 16 propinsi “BERMUTU” di Indonesia yang dilaksanakan dari tanggal 16 sampai dengan 20 Mei 2011 di Hotel Grand Jayaraya Jl. Raya Puncak Km 17, Cipayung, Bogor, Jawa Barat yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementrian Pendidikan Nasional, sehingga tulisan ini berdasar pada materi-materi yang penulis dapatkan ketika mengikuti kegiatan tersebut.
Program induksi merupakan program yang memberi kesempatan kepada guru pemula untuk dapat mengembangkan kompetensi mereka sebagai guru dan menyesuaikannya dengan kebutuhan dan budaya sekolah tempat mereka bertugas. Selama masa induksi ini guru pemula bersama pembimbing melakukan kerja sama kolegialitas melalui diskusi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang dikembangkan oleh guru pemula maupun untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi guru pemula. Dalam Pasal 1 ayat 1 Permendiknas no 27 tahun 2010 dijelaskan (1). Program induksi bagi guru pemula yang selanjutnya disebut program induksi adalah kegiatan orientasi, pelatihan di tempat kerja, pengembangan, dan praktik pemecahan berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran/ bimbingan dan konseling bagi guru pemula pada sekolah/madrasah di tempat tugasnya. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan “Guru pemula adalah guru yang baru pertama kali ditugaskan melaksanakan proses pembelajaran/bimbingan dan konseling pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat”.
Peserta program induksi dalam Pasal 4 Permendiknas tersebut adalah : (a). guru pemula berstatus calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang ditugaskan pada sekolah/madrasah yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah; (b). guru pemula berstatus pegawai negeri sipil (PNS) mutasi dari jabatan lain; (c). guru pemula bukan PNS yang ditugaskan pada sekolah/madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Dalam mengembangkan budaya peningkatan profesionalitas pembelajaran serta dalam menumbuhkan kerjasama kesejawatan untuk meningkatkan efektifitas belajar siswa pada masa induksi ini dilakukan melalui rancangan kegiatan Lesson Study (LS). Desain Lesson Study (LS) ini digunakan dengan pertimbangan bahwa melalui kegiatan Lesson Study (LS) guru dan siswa akan terbiasa dengan budaya peningkatan mutu serta terbuka terhadap masukan.
Hasil studi The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) membuat gusar Amerika Serikat. IEA, organisasi yang bergerak di bidang penilaian dan pengukuran pendidikan yang berkedudukan di Belanda, menyelenggarakan studi kemampuan matematika dan sains bagi siswa kelas 8. Studi berlabel The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1994-1995 menempatkan nilai matematika rata-rata siswa Amerika Serikat yang mendapat skor 500, berada di rangking ke-28 dari 41 negara peserta.
Amerika kemudian mengadakan studi banding ke Jepang dan Jerman. Tim studi banding merekam pembelajaran matematika di Jepang dan Jerman.Mereka melakukan analisis, membandingkan dengan pembelajaran matematika di Amerika. Hasilnya, Amerika menyadari tidak memiliki sistem untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Mereka menilai Jepang dan Jerman memiliki sistem peningkatan mutu pembelajaran berkelanjutan.
Para ahli pendidikan Amerika mempelajari jugyokenkyu, yang sudah diterapkan sekolah-sekolah di Jepang untuk meningkatkan mutu pembelajaran secara berkelanjutan.Jugyokenkyu konon telah berkembang di Jepang sejak 1870-an. Jugyo bermakna pembelajaran (lesson) dan kenkyu yang bermakna pengkajian (study, research). Tak lama, jugyokenkyu pun diterapkan di sekolah-sekolah di Amerika, dengan nama populer lesson study.
Lesson study kemudian juga berkembang ke sejumlah negara Eropa dan Australia. Buku The Teaching Gap: Best Ideas from the World’s Teachers for Improving Education in the Classroom (1999) yang ditulis J W Stigler dan J Hiebert turut mendorong perkembangan lesson study di dunia. Buku ini memberi gambaran proses pembelajaran di Jepang, Jerman dan Amerika Serikat. Tradisi pembelajaran yang dilakukan di Jepang, yang dipopulerkan Amerika dengan nama lesson study, menarik perhatian dunia.
Setelah menerapkan lesson study, peringkat Amerika Serikat pada TIMSSRepetition (TIMSS-R) 1999 memang tidak serta merta naik drastis. Skor siswa Amerika hanya naik sedikit menjadi 502 dan berada di peringkat ke-19 dari 39 negara. Namun sudah cukup jauh di atas skor rata-rata internasional yakni 487. Indonesia meraih skor 403 dan berada di posisi ke-35, hanya di atas Chili (392), Filipina (345), Marokko (337), dan Afrika Selatan (275).
Pada The Trend International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003, Amerika Serikat berada di posisi ke-15 dengan skor 504. Capaian ini sudah jauh dari skor rata-rata internasional dari 45 negara peserta studi TIMSS 2003, yang hanya 466. Siswa SMP kelas 8 Indonesia hanya berada di peringkat ke-34 dengan skor 411, masih di bawah skor rata-rata internasional.
Herannya, negara Singapura yang selalu menempati peringkat pertama TIMSS mau mempelajari lesson study. Negeri Asia Tenggara lainnya yang menerapkan lesson study di sekolah-sekolah adalah Thailand dan Vietnam.
Indonesia termasuk negara yang beruntung bisa mempelajari lesson study dengan bantuan dari pemerintah Jepang, melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Kerjasama teknis berlabel Indonesia Mathematics and Science Teacher Education Profect (IMSTEP) ditandatangani pada Oktober 1998. IMSTEP dilakukan di IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia), IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta), dan IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang).
Lesson Study adalah sebuah kegiatan untuk guru yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan professional mereka dengan cara meneliti dan mempelajari implementasi pembelajaran nyata mereka secara obyektif (Hand Out : Yoshitaka Tanaka, JICA Projekt Team,17 Mei 2011). Menurut beberapa ahli, Lesson Study adalah suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangkan meningkarkan hasil pembelajaran (Garfield,2006). Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus. Walker (2005) menyatakan bahwa Lesson Study merupakan suatu metode pengembangan profesional guru. Jadi jelas, selain untuk meningkatkan efeftivitas pembelajaran, Lesson Study juga akan bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi guru, yang pada akhirnya meningkatkan profesionalisme guru.
Lesson Study dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu plan (merencanakan), do (melaksanakan), dan see (mereflesikan) yang secara bersiklus dan berkelanjutan. Lesson Study merupakan salah satu wujud pengembangan komunitas belajar (learning community).
Plan bertujuan merancang pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa dan berpusat pada siswa, bagaimana supaya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Perencanaan yang baik tidak dilakukan sendirian, tetapi bersama-sama. Beberapa guru dapat berkolaborasi merancang rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Perencanaan diawali analisis permasalahan dalam pembelajaran.Masalah itu kemudian dibahas bersama guru-guru, hingga melahirkan lesson plan, teaching materials, berupa media pembelajaran, lembar kerja siswa, dan metode evaluasi. Fokus diskusi pada materi ajar,teaching materials, dan strategi pembelajaran. Diskusi mendorong lahirnya kolegalitas antarguru. Di sini juga tercipta iklim saling belajar antarguru.
Pada tahap ini, pengetahuan guru bisa berkembang secara produktif melalui pertukaran pemahaman tentang masalah yang diajukan. Setiap peserta diskusi mengajukan pendapatnya menurut sudut pandang dan pengalaman masing-masing. Diskusi melahirkan kesepakatan bersama yang bisa jadi merupakan pengetahuan baru dan dapat diterima secara bersama.
Tahap plan juga dilakukan untuk membahas rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang akan dilaksanakan oleh guru model pada tahapan do.Artinya, RPP merupakan hasil pembahasan bersama, sehingga para guru ketika melakukan observer tidak lagi mempersoalkan hal-hal yang sudah disepakati bersama dalam RPP. RPP yang disusun bersama diharapkan kualitasnya lebih baik jika dibandingkan RPP yang dikembangkan secara individual.
Berkembangnya pengetahuan guru bisa juga didapat saat ia menjadi pengamat (observer), atau melaksanakan tahap do. Tahapan do atau pelaksanaan adalah menerapkan apa yang sudah direncanakan. Biasanya, dalam perencanaan telah disepakati siapa guru yang akan mengimplemen tasikan pembelajaran, atau biasa disebut guru model. Pada pelaksanaan induksi guru modelnya sudah pasti guru pemula. Ditetapkan juga kelas model untuk mengujicoba efektivitas model pembelajaran yang telah dirancang.
Guru-guru lain, bertindak sebagai pengamat pembelajaran (observer). Pengamat pada pelaksanaan induksi yang utama adalah guru pembimbing, biasanya sebelum pembelajaran ada briefieng untuk menjelaskan kegiatan open class, atau pembelajaran di kelas model
Selama pembelajaran berlangsung pengamat tidak boleh berbicara dengan sesama pengamat. Apalagi terlibat aktivitas pembelajaran. Para pengamat dapat melakukan perekaman kegiatan pembelajaran melalui video atau foto digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan studi.
Keberadaan para pengamat di dalam ruangan kelas disamping mengumpulkan informasi juga dimaksudkan untuk bisa belajar. Pengamat bukan melakukan evaluasi terhadap guru model. Observer mengamati respons dan perilaku siswa RPP yang disusun bersama para guru. Latar belakang para observer yang berbeda ini tentunya memunculkan variasi hasil pengamatan. Temuan hasil observasi yang beragam tersebut memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan secara lebih produktif sehingga masing- masing guru mampu mendapatkan pengetahuan pembelajaran yang lebih komplit.
Apa yang jadi pengamatan dalam pembelajaran dibahas dalam tahap ketiga, yakni see (refleksi). Pada refleksi, yang dilakukan seusai pembelajaran, guru dan pengamat mendiskusikan hasil pelaksanaan. Diskusi dipandu oleh moderator yang sudah ditunjuk. Releksi dimulai dengan memberikan kesempatan kepada guru menyampaikan kesan saat pembelajaran. Setelah itu para pengamat diminta berkomentar berkenaan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Kritik dan saran para pengamat disampaikan secara bijak, buka untuk mengevaluasi guru.
Hal-hal yang lebih terperinci dari setiap tahapan. Tahapan Plan mencakup empat langkah; (1) Menganalisis topik (2) Menganalisis realitas siswa, (3) Membuat Rencana Pembelajaran, dan (4) Memeriksa Rencana Pembelajaran. Pada tahapan Do mencakup tiga langkah; (5) Membangkitkan minat siswa, (6) Menyadari pembelajaran bermakna bagi siswa, dan (7) Menyimpulkan pelajaran. Tahapan See adalah (8) Merefleksi pelajaran. Hasil dari tahapan See akan diberikan kembali pada tahapan Plan dan Do untuk peningkatan pelajaran selanjutnya.
Implementasi lesson study pada program induksi adalah sebagai berikut :
1.Tahapan “Plan” pada PIGP kegiatan yang dilakukan adalah : Persiapan Pembimbingan : dalam Menyusun Perencanaan Pembelajaran, yang mengembangkan Model Pembelajaran dengan pen dekatan Student centered dan strategi discovery inquiry
2. Tahapan “Do” pada PIGP kegiatan yang dilakukan adalah :
Observasi Pembelajaran dalam pembimbingan (a) Pembimbing observasi pada fokus sub kompetensi yang disepakati, maksimal 5 (lima) sub kompetensi dari 14 kompetensi guru pada setiap pelaksanaan, kemudian pelaksanaan observasi yang dilakukan terhadap focus sub-kompetensi yang telah disepakati, dan diakhiri pertemuan pascaobservasi untuk membahas hasil observasi dan memberikan umpan balik berdasarkan focus sub-kompetensi yang telah disepakati bersama, berupa ulasan tentang hal-hal yang sudah baik dan hal yang perlu dikembangkan. (b) Observer lain mengamati interaksi peserta didik-peserta didik dengan kelompok, dengan bahan ajar, dengan guru

3. Tahapan “See” pada PIGP kegiatan yang dilakukan adalah : (a) Refeksi proses pembelajaran pada pasca observasi (PIGP) (b) Pengkajian Hasil Refleksi di MGMP Sekolah dan MGMP Kab/Kota
Subagio,M.Pd, adalah Kepala SMP Negeri 2 Cibeureum Kab. Kuningan

Senin, 09 Mei 2011

Model Pembelajaran Sekolah Kategori Mandiri-Sekolah Standar Nasional

Oleh: Depdiknas

Mutu kegiatan belajar-mengajar akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan SKM/SSN. Oleh karena itu, kegiatan belajar-mengajar bagi peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dirancang dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat dicapai hasil percepatan belajar secara optimal, dan sebaliknya. Seperti dikemukakan Caroll dan Bloom (1974 dalam Munandar, 2001) bahwa banyak peserta didik yang memiliki bakat, minat, kemampuan dan kecerdasan luar biasa, bahkan sebaliknya maka dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar dapat diterapkan pelayanan individual dan pelayanan kelompok.

Pemberian layanan secara individual membawa implikasi dalam manajemen yakni penambahan tenaga, sarana dan dana. Oleh karena itu dilakukan gabungan antara layanan individual dan kelompok, dengan pengertian bahwa pada umumnya layanan pendidikan diberikan pada kelompok peserta didik yang memiliki kemampuan dalam matapelajaran yang sama. Meskipun kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara kelompok, penilaian terhadap kemajuan hasil belajar merupakan penilaian kemampuan individu setiap peserta didik. Kecuali penilaian yang dirancang untuk mengetahui kemampuan dan kemajuan belajar/ hasil kerja kelompok.
Model pembelajaran yang dilaksanakan saat ini mengacu pada prinsip-prinsip yang dikemukakan Bruner (Munandar, 2001) yaitu memberikan pengalaman khusus yang dapat dipahami peserta didik; pengajaran diberikan sesuai dengan struktur pengetahuan/keilmuan sehingga peserta didik lebih siap menyerapnya; susunan penyajian pengajaran yang lebih efektif dan dipertimbangkan ganjaran yang sesuai. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada SKM/SSN tidak hanya ditekankan pada pencapaian aspek intelektual saja, melainkan dalam pembelajaran perlu diciptakan kegiatan dan suasana belajar yang memungkinkan berkembangnya semua dimensi dalam pendidikan, seperti: watak, kepribadian, intelektual, emosional dan sosial. Sehingga diharapkan tercapai kemajuan dan perkembangan yang seimbang antara semua dimensi tersebut.
Strategi pembelajaran yang sesuai untuk mencapai dimensi di atas, adalah strategi pembelajaran yang terfokus pada belajar bagaimana seharusnya belajar (Zamroni, 2000). Strategi ini harus menekankan pada perkembangan kemampuan intelektual tinggi, memiliki kepekaan (sensitif) terhadap kemajuan belajar dari tingkat konseptual rendah ke tingkat intelektual tinggi. Untuk itu metode pembelajaran yang paling sesuai antara lain metode pembelajaran induktif, divergen dan berpikir evaluatif. Pembelajaran model hafalan pada pembelajaran program siswa yang memiliki kemampuan lebih sejauh mungkin dicegah dengan memberikan tekanan pada teknik yang berorientasi pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.
Dari pemaparan di atas sesungguhnya pembelajaran yang terjadi merupakan impelemntasi dari model Dick dan Carey dimana peran guru atau tugas utama guru adalah sebagai perancang pembelajaran, dengan peranan tambahan sebagai pelaksana dan penilai kegiatan belajar mengajar (Riyanto, 2001). Dengan kata lain strategi belajar mengajar yang terapkan dalam mengajar pada SKM/SSN bukan hanya menekankan pada aspek intelektual saja melainkan pada juga pada proses kreatif dan berfikir tinggi dalam bentuk strategi belajar yang bervariasi yang harus diciptakan oleh guru secara kreatif.
Menurut Arends (2001) seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran harus menampilkan tiga aspek penting. Ketiga aspek ini adalah: (1) kepemimpinan, (2) pemberian instruksi melalui tatap muka dengan peserta didik, (3) bekerja dengan peserta didik, kolega, dan orang tua. Untuk membangun kelas dan sekolah sebagai organisasi belajar, ketiga aspek tersebut harus terpadu.
Pada aspek kepemimpinan, banyak peran guru sama dengan peran pemimpin yang bekerja pada tipe organisasi lain. Pemimpin diharapkan mampu merencanakan, memotivasi, dan mengkoordinasi pekerjaan sehingga tiap individu dapat bekerja secara independen, dan membantu memformulasi serta menilai pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran guru harus merancang dan melakukan pekerjaan secara efisien, kreatif, tampil menarik dan berwibawa sebagai seorang aktor di depan kelas, serta hasilnya harus memenuhi standar kualitas.
Pada aspek pemberian instruksi, guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas melalui tatap muka menyampaikan informasi dan mengarahkan apa yang harus dilakukan peserta didik. Pada apsek ini hal yang perlu diperhatikan adalah unsur konsentrasi atau perhatian peserta didik terhadap uraian materi yang disampaikan guru. Pada umumnya perhatian penuh peserta didik berlangsung pada 5 sampai 10 menit pertama, setelah itu perhatiannya akan turun. Untuk itu guru harus berusaha menjaga perhatian peserta didik, misalnya dengan memberi contoh penggunaan materi atau konsep yang diajarkan di lapangan.
Pada aspek kerja sama, untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal guru harus melakukan kerjasama dengan peserta didik, kolega guru, dan orang tua. Masalah yang dihadapi guru dapat berupa masalah di kelas, atau masalah individu peserta didik. Masalah di kelas dapat didiskusikan dengan guru lain yang mengajar di kelas yang sama atau yang mengajar mata pelajaran sama di kelas lain. Masalah individu peserta didik dibicarakan dengan orang tua peserta didik. Dengan demikian semua masalah yang terjadi di kelas dapat diselesaikan.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan interaksi antara peserta didik dan sumber belajar. Pembelajaran di kelas terjadi karena ada interaksi antara peserta didik dengan guru. Guru tidak saja memberi instruksi, tetapi juga bertindak sebagai anggota organisasi belajar dan sebagai pemimpin pada lingkungan kerja yang komplek. Semua perilaku guru di dalam dan di luar kelas akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan pembelajaran.
Model pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu model tradisional yang berpusat pada guru dan model konstruktivis yang berpusat pada peserta didik (Arends, 2001). Model pembelajaran tradisonal terdiri atas ceramah atau presentasi, instruksi langsung, dan pengajaran konsep. Model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik atau konstruktivis terdiri atas belajar kooperatif, instruksi berbasis masalah, dan diskusi kelas.
Ada dua hal utama yang perlu diperhatikan pada model pembelajaran sekolah mandiri, yaitu : (1) pembelajaran, dan (2) evaluasi. Peran utama guru di sekolah adalah melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran merupakan kegiatan yang menggunakan teknik, metode, dan strategi yang sistematik untuk mengkreasi perpaduan yang ideal antara kurikulum dan peserta didik secara sistematik.
Teknik pembelajaran adalah bagian dari setiap metode, dan beberapa metode digabung menjadi strategi, yang merupakan kombinasi kemampuan dan keterampilan guru untuk menerapkan metode dan strategi pembelajaran. Teknik yang banyak digunakan antara lain : (1) menyampaikan informasi, (2) memotivasi, (3) memberi penguatan, (4) mendengarkan, (5) memberi dan menjawab pertanyaan, dan (6) pengelolaan.
Strategi pembelajaran adalah kombinasi metode yang berurutan dan dirancang agar peserta didik mencapai standar kompetensi. Menururt Kindsvatter, Wilen, & Ishler (1996:169) strategi formal yang dikembangkan berdasarkan penelitian pembelajaran yang efektif dan menekankan pada hasil belajar yang lebih tinggi adalah:
1. Pengajaran aktif : fokus akademik, pembelajaran diarahkan oleh guru dengan menggunakan bahan yang terstruktur dan berurutan.
2. Pembelajaran masteri: suatu pendekatan diagnostik individu pada pembelajaran di mana peserta didik melakukan pembelajaran dan diuji sesuai dengan kecepatannya untuk mencapai kompetensi.
3. Pembelajaran kooperatif : penggunaan tutor sebaya, pembelajaran grup, dan kerjasama untuk mendorong peserta didik belajar.
Model pembelajaran pada SKM/SSN menekankan pada potensi dan kebutuhan peserta didik agar mampu belajar mandiri yang dibangun melalui komunitas belajar di kelas. Strategi untuk memotivasi peserta didik membangun komunitas belajar tersebut meliputi : (1) meyakini potensi peserta didik, (2) membangun motivasi intrinsik, (3) menggunakan perasaan positif, (4) membangun minat belajar peserta didik, (5) membangun belajar yang menyenangkan, (6) memenuhi kebutuhan peserta didik, (7) mencapai tujuan pembelajaran, dan (8) memfasilitasi pengembangan kelompok.
Secara ringkas prinsip pembelajaran pada SKM/SSN adalah :
1. Berpusat pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik belajar.
2. Menggunakan berbagai metode yang memudahkan peserta didik belajar.
3. Proses pembelajaran bersifat kontekstual.
4. Interaktif, inspiratif, menyenangkan, memotivasi, menantang dan dalam iklim yang kondusif.
5. Menekankan pada kemampuan dan kemauan bertanya dari peserta didik
6. Dilakukan melalui kelompok belajar dan tutor sebaya.
7. Mengalokasikan waktu sesuai dengan kemampuan belajar peserta didik
8. Melaksanakan program remedial dan pengayaan sesuai dengan hasil evaluasi formatif.
Sumber:
Depdiknas.2008. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah

Jumat, 06 Mei 2011

Manajerial Pilar Peningkatan Mutu Sekolah

Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum)

Manajerial dan supervisi sekolah merupakan kemampuan yang mesti dimiliki Kepala Sekolah. Di samping dari tiga kompetensi lainnya yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu kepribadian, kewirausahaan, dan sosial., merupakan lima kompetensi Kepala Sekolah dalam Permendiknas RI No 13 Tahun 2007 dibuat Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP), yang mengacu pada UU No 20 Tahun 2003 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

Kompetensi Manajerial yang harus dimiliki kepala sekolah :

1.Mampu menyusun perencanaan sekolah untuk berbagai tingkatan perencanaan:
• Menguasai teori perencanaan dan seluruh kebijakan pendidikan nasional sebagai landasan dalam perencanaan sekolah, baik perencanaan strategis, perencanaan operariosanal, perencanaan tahunan, maupun rencana angaran pendapatan dan belanja sekolah,
• Mampu menyusun rencana strategis (renstra) pengembangan sekolah berlandaskan kepada keseluruhan kebijakan pendidikan nasional, melalui pendekatan, strategi, dan proses penyusunan perencanaan strategis yang memegang teguh prinsip-prinsip penyusunan rencara strategis baik
• Mampu menyusun rencana operasional (Renop) pengembangan sekolah berlandaskan kepada keseluruhan rencana strategis yang telah disusun, melalui pendekatan, strategi, dan proses penyusunan perencanaan renop yang memegang teguh prinsip-prinsip penyusunan rencana operasional yang baik.
• Mampu menyusun rencana tahunan pengembangan sekolah berlandaskan kepada keseluruhan rencana operasional yang telah disusun, melalui pendekatan, strategi, dan proses penyusunan perencanaan tahunan yang memegang teguh prinsip-prinsip penyusunan rencana tahunan yang baik.
• Mampu menyusun rencana anggaran belanja sekolah (RAPBS) berlandaskan kepada keseluruhan rencana tahunan yang telah disusun, melalui pendekatan, strategi, dan proses penyusunan RAPBS yang memegang teguh prinsip-prinsip penyusunan RAPBS yang baik.
• Mampu menyusun perencanaan program kegiatan berlandaskan kepada keseluruhan rencana tahunan dan RAPBS yang telah disusun, melalui pendekatan, strategi, da proses penyusunan perencanaan program kegiatan yang memegang teguh prinsip-prinsip penyusunan perencanaan program yang baik.
• Mampu menyusun proposal kegiatan melalui pendekatan, strategi, dan proses penyusunan perencanaan program kegiatan yang memegang teguh prinsip-prinsip - prinsip penyusunan proposal yang baik.

2.Mampu mengembangkan organisasi sekolah sesuai dengan kebutuhan:

• Menguasai teori dan seluruh kebijakan pendidikan nasional dalam pengorganisasian kelembagaan sekolah sebagai landasan dalam mengorganisasikan kelembagaan maupun program insidental sekolah.
• Mampu mengembangkan struktur organisasi formal kelembagaan sekolah yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan melalui pendekatan, strategi, dan proses pengorganisasian yang baik.
• Mampu mengembangkan deskripsi tugas pokok dan fungsi setiap unit kerja melalui pendekatan, strategi, dan proses pengorganisasian yang baik.
• Menempatkan personalia yang sesuai dengan kebutuhan
• Mampu mengembangan standar operasional prosedur pelaksanaan tugas pokok dan fungsi setiap unit kerja melalui pendekatan, strategi, dan proses pengorganisasian yang baik
• Mampu melakukan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan prinsip-prinsip tepat kualifikasi, tepat jumlah, dan tepat persebaran.
• Mampu mengembangkan aneka ragam organisasi informal sekolah yang efektif dalam mendukung implementasi pengorganisasian formal sekolah dan sekaligus pemenuhan kebutuhan, minat, dan bakat perseorangan pendidikan dan tenaga kependidikan

3. Memimpin guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal:

• Mampu mengkomunikasikan visi, misi, tujuan, sasaran, dan program strategis sekolah kepada keseluruhan guru dan staf.
• Mampu mengkoordinasikan guru dan staf dalam merelalisasikan keseluruhan rencana untuk mengapai visi, mengemban misi, mengapai tujuan dan sasaran sekolah
• Mampu berkomunikasi, memberikan pengarahan penugasan, dan memotivasi guru dan staf agar melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan
• Mampu membangun kerjasama tim (team work) antar-guru, antar- staf, dan antara guru dengan staf dalam memajukan sekolah
• Mampu melengkapi guru dan staf dengan keterampilan-keterampilan profesional agar mereka mampu melihat sendiri apa yang perlu dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing
• Mampu melengkapi staf dengan ketrampilan-ketrampilan agar mereka mampu melihat sendiri apa yang perlu dan diperbaharui untuk kemajuan sekolahnya
• Mampu memimpin rapat dengan guru-guru, staf, orangtua siswa dan komite sekolah
• Mampu melakukan pengambilan keputusan dengan menggunakan strategi yang tepat
• Mampu menerapkan manajemen konflik

4.Mampu mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal:

• Mampu merencanakan kebutuhan guru dan staf berdasarkan rencana pengembangan sekolah
• Mampu melaksanakan rekrutmen dan seleksi guru dan staf sesuai tingkat kewenangan yang dimiliki oleh sekolah
• Mampu mengelola kegiatan pembinaan dan pengembangan profesional guru dan staf
• Mampu melaksanakan mutasi dan promosi guru dan staf sesuai kewenangan yang dimiliki sekolah
• Mampu mengelola pemberian kesejahteraan kepada guru dan staf sesuai kewenangan dan kemampuan sekolah

5. Mampu mengelola sarana dan prasarana sekolah dalam rangka pendayagunaan secara optimal:
• Mampu merencanakan kebutuhan fasilitas (bangunan, peralatan, perabot, lahan, infrastruktur) sekolah sesuai dengan rencana pengembangan sekolah
• Mampu mengelola pengadaan fasilitas sesuai dengan peraturan yang berlaku.
• Mampu mengelola pemeliharaan fasilitas baik perawatan preventif maupun perawatan terhadap kerusakan fasilitas sekolah
• Mampu mengelola kegiatan inventaris sarana dan prasarana sekolah sesuai sistem pembukuan yang berlaku.
• Mampu mengelola kegiatan penghapusan barang inventaris sekolah

6.Mampu mengelola hubungan sekolah – masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah:

• Mampu merencanakan kerjasama dengan lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat
• Mampu melakukan pendekatan-pendekatan dalam rangka mendapatkan dukukungan dari lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat
• Mampu memelihara hubungan kerjasama dengan lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat

7. Mampu mengelola kesiswaan, terutama dalam rangka penerimaan siswa baru, penempatan siswa, dan pengembangan kapasitas siswa:

• Mampu mengelola penerimaan siswa baru terutama dalam hal perencanaan dan pelaksanaan penerimaan siswa baru sesuai dengan kebutuhan sekolah
• Mampu mengelola penempatan dan pengelompokan siswa dalam kelas sesuai dengan maksud dan tujuan pengelompokan tersebut.
• Mampu mengelola layanan bimbingan dan konseling dalam membantu penguatan kapasitas belajar siswa
• Mampu menyiapkan layanan yang dapat mengembangkan potensi siswa sesuai dengan kebutuhan, minat, bakat, kreativitas dan kemampuan
• Mampu menetapkan dan melaksanakan tata tertib sekolah dalam memelihara kedisiplinan siswa
• Mampu mengembangkan sistem monitoring terhadap kemajuan belajar siswa
• Mampu mengembangkan sistem penghargaan dan pelaksanaannya kepada siswa yang berprestasi

8.Mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional:

• Menguasai seluk beluk tujuan nasional, tujuan pembangunan nasional, dan tujuan pendidikan nasional, regional, dan lokal secara tepat dan kompherensif sehingga memiliki sikap positif akan pentingnya tujuan-tujuan tersebut sebagai arah penyelenggaraan pendidikan dan terampil menjabarkannya menjadi kompetensi lulusan dan kompetensi dasar.
• Memiliki wawasan yang tepat dan komprehensif tentang kedirian peserta didik sebagai manusia yang berkarakter, berharkat, dan bermartabat, dan mampu mengembangan layanan pendidikan sesuai dengan karakter, harkat, dan martabat manusia.
• Memiliki pemahaman yang komprehensif dan tepat, dan sikap yang benar tentang esensi dan tugas profesional guru sebagai pendidik
• Menguasai seluk beluk kurikulum dan proses pengembangan kurikulum nasional sehingga memiliki sikap positif terhadap kebaradaan kurikulum nasional yang selalu mengalami pembaharuan, serta terampil dalam menjabarkannya menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan
• Mampu mengembangkan rencana dan program pembelajaran sesuai dengan kompetensi lulusan yang diharapkan
• Menguasai metode pembelajaran efektif yang dapat mengembangkan kecerdasan intelektual, spritual, dan emosional sesuai dengan materi pembelajaran
• Mampu mengelola kegiatan pengembangan sumber dan alat pembelajaran di sekolah dalam mendukung pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan
• Menguasai teknik-teknik penilaian hasil belajar dan menerapkannya dalam pembelajaran
• Mampu menyusun program pendidikan per tahun dan per semester
• Mampu mengelola penyusunan jadwa pelajaran per semester
• Mampu melaksanakan monitoring dan evaluasi program pembelajaran dan melaporkan hasil-hasilnya kepada stakeholders sekolah.

9. Mampu mengelola keuangan sekolah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan, dan efisien:

• Mampu merencanakan kebutuhan keuangan sekolah sesuai dengan rencana pengembangan sekolah, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang.
• Mampu mengupayakan sumber-sumber keuangan terutama yang bersumber dari luar sekolah dan dari unit usaha sekolah.
• Mampu mengkoordinasikan pembelanjaan keuangan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan berdasarkan asas prioritas dan efisiensi
• Mampu mengkoordinasikan kegiatan pelaporan keuangan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku

10.Mampu mengelola ketatausahaan sekolah dalam mendukung kegiatan-kegiatan sekolah:

• Mampu mengelola administrasi surat masuk dan surat keluar sesuai dengan pedoman persuratan yang berlaku
• Mampu mengelola administrasi sekolah yang meliputi administrasi akademik,
kesiswaan, sarana/prasarana, keuangan, dan hubungan sekolah-masyarakat
• Mampu mengelola administrasi kearsipan sekolah baik arsip dinamis maupun arsip lainnya
• Mampu mengelola administrasi akreditasi sekolah sesuai dengan prinsip-prinsip tersedianya dokumen dan bukti-bukti fisik

11.Mengelola unit layanan khusus sekolah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan kesiswaan di sekolah:
• Mampu mengelola laboratorium sekolah agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan pembelajaran siswa
• Mampu mengelola bengkel kerja agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan pembelajaran keterampilan siswa
• Mampu mengelola usaha kesehatan sekolah dan layanan sejenis untuk membantu siswa dalam pelayanan kesehatan yang diperlukan
• Mampu mengelola kantin sekolah berdasarkan prinsip kesehatan, gizi, dan keterjangkauan
• Mampu mengelola koperasi sekolah baik sebagai unit usaha maupun sebagai sumber belajar siswa
• Mampu mengelola perpustakaan sekolah dalam menyiapkan sumber belajar yang diperlukan oleh siswa

12.Mampu menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan dalam menciptakan inovasi yang berguna bagi pengembangan sekolah:

• Mampu bertindak kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pekerjaan melalui cara berpikir dan cara bertindak
• Mampu memberdayakan potensi sekolah secara optimal ke dalam berbagai kegiatan-kegiatan produktif yang menguntungkan sekolah
• Mampu menumbuhkan jiwa kewirausahaan (kreatif, inovatif, dan produktif) di kalangan warga sekolah
13.Mampu menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif bagi pembelajaran siswa:

• Mampu menata lingkungan fisik sekolah sehingga menciptakan suasana nyaman, bersih dan indah
• Mampu membentuk suasana dan iklim kerja yang sehat melalui penciptaan hubungan kerja yang harmonis di kalangan warga sekolah
• Mampu menumbuhkan budaya kerja yang efisien, kreatif, inovatif, dan berorientasi pelayanan prima

14.Mampu mengelola sistem informasi sekolah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan:

• Mampu mengembangkan prosedur dan mekanisme layanan sistem informasi
• Mampu menyusun format data base sekolah sesuai kebutuhan
• Mampu mengkoordinasikan penyusunan data base sekolah baik sesuai kebutuhan pendataan sekolah
• Mampu menerjemahkan data base untuk merencanakan program pengembangan sekolah

15.Terampil dalam memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan
pembelajaran dan manajemen sekolah:

• Mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam manajemen sekolah
• Mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komukasi dalam pembelajaran, baik sebagai sumber belajar maupun sebagai alat pembelajaran

16.Terampil mengelola kegiatan produksi/jasa dalam mendukung sumber pembiayaan sekolah dan sebagai sumber belajar sisiwa:

• Mampu merencanakan kegiatan produksi/jasa sesuai dengan potensi sekolah
• Mampu membina kegiatan produksi/jasa sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang profesional dan akuntabel
• Mampu melaksanakan pengawasan kegiatan produksi/jasa dan menyusun laporan
• Mampu mengembangkan kegiatan produksi/jasa dan pemasarannya

17. Mampu melaksana-kan pengawasan terhadap pelaksana-an kegiatan sekolah sesuai standar pengawasan yang berlaku:

• Memahami peraturan-peraturan pemerintah yang berkaitan dengan standar pengawasan sekolah
• Melakukan pengawasan preventif dan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan sekolah

Sedangkan pada kompetensi supervisi, yang harus dimiliki kepala sekolah :

1. Mampu melakukan supervisi sesuai prosedur dan teknik-teknik yang tepat:

• Mampu merencanakan supervisi sesuai kebutuhan guru
• Mampu melakukan supervisi bagi guru dengan menggunakan teknik-teknik supervisi yang tepat
• Mampu menindaklanjuti hasil supervisi kepada guru melalui antara lain pengembangan profesional guru, penelitian tindakan kelas, dan sebagainya.

2.Mampu melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan program pendidikan sesuai dengan prosedur yang tepat :

• Mampu menyusun standar kinerja program pendidikan yang dapat diukur dan dinilai.
• Mampu melakukan monitoring dan evaluasi kinerja program pendidikan dengan menggunakan teknik yang sesuai
• Mampu menyusun laporan sesuai dengan standar pelaporan monitoring dan evaluasi

Secara kualifikasi, , seorang kepala sekolah minimal bependidikan S-1, berusia setinggi-tingginya 56 tahun, memiliki pengalaman belajar minimal 5 tahun, memiliki pangkat serendah-rendahnya III C.
Dalam semangat desentralisasi pendidikan pada otonomi daerah, semestinya pengangkatan kepala sekolah didasarkan pada profesionalitas dan kompetensinya, jangan ada tendesi lainnya.

Menjadi kepala sekolah, kini tidak mudah lagi. Mengacu pada aturan baru Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Menjadi Kepala Sekolah, orang yang memimpin sebuah sekolah harus memiliki kompetensi dan professional memadai. Dalam Permendiknas No 28 itu, ada syarat khusus untuk bisa menjadi kepala sekolah. Kepala daerah juga tidak bisa lagi seenaknya mengangkat kepala sekolah baru sesuai keinginannya; Diketahui, Permendiknas No 28 merupakan pengganti Kepmendiknas No 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. sebetulnya sudah menerapkan aturan Permendiknas No 28. Ketika itu, peraturan tersebut masih berbentuk draft, ke depan proses pengangkatan calon kepala sekolah baik tingkat SD, SMP maupun SMA sederajat sudah mempunyai acuan yang jelas. Semuanya bertujuan agar didapatkan kepala sekolah dengan kemampuan memimpin dan memajukan sekolah yang mumpuni.

Untuk bisa menjadi seorang kepala sekolah, perlu ada persiapan-persiapan khusus. Mulai proses administrasi hingga akademik yang harus terpenuhi. Calon kepala sekolah wajib mengikuti proses pendidikan dan pelatihan minimal 100 jam serta praktik lapangan minimal tiga bulan.
Selain itu, harus ada suatu bukti bahwa calon kepala sekolah tersebut berkompeten dan punya keterampilan manajerial di dalam mengelola sekolah. Intinya, mereka harus punya standar kompetensi calon kepala sekolah. Dengan begitu, diharapkan pengangkatan kepala sekolah tidak lagi didasarkan pada prinsip like and dislike.

Dalam proses pengangkatannya, calon kepala sekolah/madrasah harus pula melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah yang ditetapkan oleh pemerintah. Baik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota atau penyelenggara sekolah/madrasah.

Masa jabatan kepala sekolah pun saat ini dibatasi. Seorang kepala sekolah diperbolehkan menjabat kedua kalinya bila dinilai memiliki prestasi dan kinerja minimal baik. Kalau sudah dua periode bisa diangkat kembali, tetapi pada sekolah yang lain dengan prestasi amat baik,
Sebelum bisa diangkat lagi, kepala sekolah itu harus turun jabatan dulu menjadi guru biasa. Penerapan ketentuan-ketentuan dalam Permendiknas baru ini sedikit banyak mengalami kendala di daerah. Pasalnya, tidak semua daerah kondisinya sama. Misalnya saja, kualitas sumber daya manusia (SDM) dari jenjang pendidikan calon kepala sekolah tiap daerah berbeda-beda.
Faktanya, tidak semua siap menerapkan aturan baru ini. Makanya, penerapan Permendiknas itu akan sangat tergantung pada kepala daerah dan kondisi daerah masing-masing. Bukan dalam artian pemerintah daerah ’menipu’ aturan yang berlaku tersebut. Namun, dengan keterbatasan kesiapan daerah tentu saja ketentuan dalam Permendiknas No 28 Tahun 2010 itu tidak akan bisa diterapkan seluruhnya.