Oleh : admin
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika sering
dianggap sebagai mata
pelajaran yang sulit
oleh sebagian siswa. Hasil
rata-rata nilai Ujian
Nasional (UN) siswa; baik
di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, maupun
SMK/MK yang rendah seakan-akan
membenarkan pendapat bahwa
matematika merupakan pelajaran yang sulit.
Apalagi kalau kita
mempelajari nilai TIMSS atau
PISA siswa Indonesia
dan membandingkannya dengan nilai
siswa dari negara lain.
Tidak hanya itu,
ada sebagian siswa
menganggap bahwa dirinya tidak memiliki bakat untuk
mempelajari matematika. Jika ada siswa yang memiliki anggapan atau keyakinan
(belief) seperti itu, maka ia sepertinya sudah memvonis dirinya untuk tidak usah dan tidak akan mampu
mempelajari matematika, karena meskipun ia mempelajari matematika maka ia
akan tetap tidak
akan berhasil mempelajari. Tentunya, anggapan
seperti itu cukup mengkhawatirkan dan perlu
pemikiran dan penanganan
yang lebih cermat
untuk dilakukan perbaikan,
terutama oleh para guru SD, alasannya
jika ada siswa SD yang memiliki anggapan atau keyakinan (belief) bahwa dirinya tidak memiliki
bakat untuk mempelajari matematika maka keyakinan tersebut akan terus dibawanya ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Untuk
itu perlu dilakukan
upaya-upaya oleh guru
sebagai praktisi langsung
di lapangan pendidikan yang
dapat mengubah pola
pikir siswa, bahwa matematika yang dianggap sulit menjadi matematika yang
dianggap mudah bagi siswa.
Tugas seorang guru
matematika menurut Permendiknas
22 Tahun 2006 (Depdiknas,
2006) tentang Standar Isi adalah membantu siswa untuk
mendapatkan: (1) pengetahuan matematika yang
meliputi konsep, keterkaitan antar
konsep, dan algoritma; (2) kemampuan
bernalar; (3) kemampuan memecahkan masalah;
(4) kemampuan mengomunikasikan gagasan
dan ide; serta (5)
sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan. Secara
umum, tugas utama
seorang guru matematika adalah membimbing
siswa terkait bagaimana belajar
yang sesungguhnya (learning how to learn) dan bagaimana
memecahkan setiap masalah yang
menghadang dirinya (learning how to solve problems) sehingga bimbingan tersebut
dapat digunakan dan dimanfaatkan di masa depan mereka. Karena itu, tujuan jangka
panjang pembelajaran adalah untuk meningkatkan kompetensi para siswa agar
mereka ketika sudah meninggalkan bangku sekolah akan mampu mengembangkan diri
mereka sendiri dan mampu memecahkan masalah yang muncul
Ruang Lingkup Isi
Sebagian dari ahli
teori belajar atau ahli psikologi dikenal sebagai ahli psikologi tingkah laku
(behaviorist). Contohnya adalah Burrhus
F. Skinner, Thorndike, dan
Robert M. Gagne.
Sebagian lagi dikenal
sebagai ahli psikologi
kognitif (cognitive science).
Contohnya adalah Jean Piaget; Zoltan P. Dienes; Richard R. Skemp; David P. Ausubel;
Jerome Bruner; maupun
Lev. S. Vygotsky.
Setiap teori yang telah dikemukakan para pakar
tersebut memiliki keunggulan
dan kelemahan sendiri- sendiri. Karena itulah, hal
paling penting yang
perlu diperhatikan para
guru matematika adalah agar setiap guru dapat menggunakan dengan tepat
keunggulan setiap teori tersebut di kelasnya masing-masing. Di samping itu, beberapa teori kelihatannya
berbeda-beda, namun ada juga yang mirip. Modul ini membahas tentang teori belajar (learning theory)
yang berkaitan dengan
pembelajaran matematika khususnya teori belajar kognitif dari Piaget,
Bruner (yang terdiri atas enaktif, ikonik, dan simbolik), dan Ausubel
(tentang teori belajar
bermakna) beserta penerapannya
dalam pembelajaran.
TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
Uraian Materi
1. Psikologi
Perkembangan Kognitif Piaget
Kunci utama teori Piaget
yang harus diketahui
guru matematika yaitu bahwa
perkembangan kognitif seorang siswa bergantung kepada seberapa jauh siswa dapat memanipulasi dan aktif berinteraksi
dengan lingkungannya, dalam arti bagaimana ia mengaitkan antara
pengetahuan yang telah dimiliki
dengan pengalaman barunya.
Menurut Piaget, ada
tiga aspek pada perkembangan kognitif
seseorang, yaitu: struktur, isi, dan fungsi kognitif.
Struktur kognitif,
skema atau skemata
(schema) menurut Piaget,
merupakan organisasi mental yang terbentuk pada saat seseorang
berinteraksi dengan lingkungannya. Isi kognitif merupakan pola tingkah laku
seseorang yang tercermin pada saat ia merespon berbagai masalah, sedangkan fungsi kognitif
merupakan cara yang digunakan seseorang untuk mengembangkan tingkat
intelektualnya, yang terdiri atas organisasi dan adaptasi. Dua proses yang
termasuk adaptasi adalah asimilasi
dan akomodasi. Pembahasan lebih rinci tentang hal ini
akan dimulai dari empat tahap perkembangan kognitif berikut ini.
2.Empat Tahap
Perkembangan Kognitif
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan, Piaget
membagi perkembangan kognitif seseorang dari bayi sampai dewasa
atas tahap seperti berikut.
Pada tahap sensori
motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar untuk menggunakan dan mengatur kegiatan fisik
dan mental menjadi
rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada
tahap ini, pemahaman
anak sangat bergantung pada
kegiatan (gerakan) tubuh dan
alat-alat indera mereka.
Contohnya ketika
seorang anak menirukan suara suatu benda maka hal itu menandakan bahwa yang
ia maksud adalah benda tersebut.
Pada tahap
pra-operasional (2-7 tahun),
seorang anak masih
sangat dipengaruhi oleh hal-hal
khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu
untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten.
Pada tahap ini,
anak masih mengalami kesulitan dalam melakukan pembalikan
pemikiran (reversing thought) serta masih mengalami kesulitan bernalar dari
hal-hal khusus ke umum yang disebut induktif maupun dari hal umum ke hal khusus
yang disebut deduktif, karena pemikirannya masih dalam tahap transduktif (transductive),
yaitu suatu proses penarikan kesimpulan dari hal khusus yang satu ke hal khusus yang lain.
Jika ia melihat
suatu benda yang
asalnya sama tapi
dalam bentuk yang berbeda,
maka si anak akan mengatakan bahwa benda tersebut adalah dua hal yang beda
pula. Sebagai contoh, jika anak diberikan tali yang pada awalnya dibentangkan
dari dua sisi yang berbeda, kemudian tali itu digenggam dan diletakkan
begitu saja di
atas meja, maka
mereka akan mengatakan
bahwa itu adalah
dua tali yang berbeda.
Pada tahap
operasional konkret (7-11
tahun), umumnya anak
sedang menempuh pendidikan di
sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu
situasi nyata atau
dengan menggunakan benda konkret,
dan mampu mempertimbangkan dua aspek dari
suatu situasi nyata
secara bersama-sama (misalnya, antara
bentuk dan ukuran).
Contohnya adalah konsep
kekekalan luas dimana luas suatu
daerah akan kekal
(tetap) jika daerah
tersebut dibagi menjadi beberapa bagian.
Pada tahap
operasional formal (lebih
dari 11 tahun),
kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda
nyata. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam perkembangan kognitif. Dengan kata lain, mereka sudah
mampu melakukan abstraksi, dalam arti mampu menentukan sifat atau atribut
khusus sesuatu tanpa menggunakan benda
nyata. Pada permulaan
tahap ini, kemampuan
bernalar secara abstrak mulai
meningkat, sehingga seseorang
mulai mampu untuk
berpikir secara deduktif.
Contohnya, mereka sudah mulai mampu untuk menggunakan variabel.
Tahapan perkembangan
yang dicantumkan oleh Piaget di atas dapat dijadikan salah satu rujukan
guru dalam merencanakan pembelajaran. Namun
kondisi para siswa Indonesia kemungkinan agak berbeda
dengan siswa yang diteliti Piaget. Di samping itu, ada
juga pendapat yang
menyatakan bahwa bagi
seseorang yang telah
berada pada tahap operasional
formal sekalipun, untuk hal-hal yang baru, mereka masih membutuhkan benda
nyata ataupun gambar/diagram.
Karenanya, faktor nyata’ atau
‘real’ pada proses
pembelajaran ini akan
sangat menentukan keberhasilan ataupun kegagalan pembelajaran di kelas.
3. Proses
Perkembangan Kognitif
Proses perkembangan
kognitif seseorang menurut Piaget harus melalui suatu proses yang disebut
dengan adaptasi dan
organisasi bahwa tanpa adanya
pengalaman baru, struktur kognitif para siswa akan berada
dalam keadaan equilibrium (tenang dan stabil). Jadi, perkembangan kognitif seseorang
ditentukan oleh seberapa
besar interaksinya dengan lingkungan (pengalaman baru)
yang harus dikaitkan
atau dihubungkan dengan struktur
kognitif (schema) mereka,
melalui proses organisasi
dan adaptasi.
Adaptasi sendiri terdiri atas dua proses yang dapat terjadi bersama-sama, yaitu: (1) asimilasi, suatu
proses dimana suatu
informasi atau pengalaman
baru disesuaikan dengan kerangka
kognitif yang sudah ada di benak siswa; dan (2) akomodasi, yaitu suatu proses
perubahan atau pengembangan kerangka
kognitif yang sudah
ada di benak siswa agar sesuai
dengan pengalaman yang baru dialami.
Bodner (1986:873)
menyatakan bahwa istilah asimilasi dan akomodasi hanya dapat dipahami melalui
konsep Piaget tentang
struktur kognitif (schema).
Jika fungsi kognitif seperti
adaptasi dan organisasi
tetap konstan selama
proses perkembangan kognitif maka
struktur kognitifnya akan
berubah baik secara kualitas
maupun kuantitas sesuai perkembangan waktu
dan pengalaman. Proses asimilasi dan akomodasi
ini terjadi sejak bayi.
Bodner (1986:873) menunjukkan
pendapat Von Glasersfeld bahwa
seorang bayi yang sedang lapar lalu pipinya disentuh dengan jari maka ia
akan berusaha untuk
menghisap jari itu.
Von Glasersfeld menyatakakan bahwa bayi
itu menganggap (mengasimilasi) bahwa
jari itu adalah
puting susu ibunya. Karena itu
Bodner (1986:873) menyatakan: “Assimilation involves applying a preexisting
schema or mental structure to interpret sensor data.” Artinya, proses
asimilasi melibatkan penggunaan struktur, skemata, atau
skema untuk
menginterpretasi. Karena itu,
Bodner (1986:873) juga menyatakan:
“Piaget argued that knowledge is
constructed as the
learner strives to
organize his or
her experiences in terms
of preexisting mental
structure or schema.”
Artinya, Piaget
berargumentasi bahwa pengetahuan terbangun disaat
siswa berusaha untuk mengorganisasikan pengalamannya
sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
4. Faktor yang
Mempengaruhi Perkembangan Kognitif
Piaget menjelaskan
bahwa perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh empat
hal berikut.
1). Kematangan (maturation) otak
dan sistem syarafnya. Kematangan otak
dan sistem syaraf
sangat penting dimiliki
setiap siswa. Siswa
yang memiliki ketidaksempurna an
yang berkait dengan
kematangan ini, sedikit
banyak akan mengurangi kemampuan
dan perkembangan kognitifnya. Karena itu,
penting sekali bagi
orang tua untuk
membesarkan putera-puterinya dengan
makanan bergizi dan
kasih sayang yang
cukup, sehingga putera-puteri tersebut
akan memiliki kematangan otak
dan sistem syaraf yang sempurna.
2). Pengalaman
(experience) yang terdiri atas:
a) Pengalaman fisik
(physical experience ), yaitu interaksi manusia dengan lingkungannya. Contohnya adalah interaksi
seorang siswa dengan kumpulan batu yang
ia tata.
b) Pengalaman
logika-matematis
(logico-mathematical
experience), yaitu kegiatan-
kegiatan pikiran yang
dilakukan manusia. Contohnya,
siswa menata kumpulan
batu sambil belajar
membilang. Dapat juga
ketika siswa mulai
berpikir bahwa suatu kumpulan lebih banyak dari kumpulan
yang lain.
Bayangkan jika ada anak yang tidak diberi
kesempatan untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Apa yang
akan terjadi dengan
perkembangan kognitif si
anak tersebut? Jelaslah
bahwa berinteraksi seorang
anak dengan lingkungannya akan
memperngaruhi perkembangan kognitif mereka.
3). Transmisi
sosial (social transmission), yaitu
interaksi dan kerjasama
yang dilakukan oleh manusia dengan
orang lain. Mengapa seorang anak Indonesia yang dilahirkan
di lingkungan yang
selalu berbahasa Inggris
dan selalu berinteraksi dengan
bahasa Inggris akan
menyebabkan ia mahir
berbahasa Inggris? Jawabannya
adalah adanya faktor
transmisi sosial tersebut.
Seorang anak yang
dilahirkan di suatu
keluarga yang lebih
mengutamakan penalaran (reasoning) akan
menghasilkan anak-anak yang
lebih mengutamakan kemampuan
penalaran
ketika memecahkan masalah.
4). Penyeimbangan (equilibration), suatu
proses, sebagai akibat
ditemuinya pengalaman (informasi)
baru, seperti ditunjukkan
pada diagram Piaget
di atas. Seorang
anak yang sejatinya
berbakat untuk mempelajari matematika, namun
karena ia tidak mendapat tantangan yang cukup, maka perkembangan
kognitifnya akan terhambat.
5. Belajar Bermakna David P. Ausubel
Mengapa sebagian
siswa ada yang dapat mengerjakan soal ketika ia belajar di kelas, namun ia
tidak dapat mengerjakan soal itu beberapa hari kemudian? Apa hal tersebut
disebabkan siswa belajar dengan cara menghafal? Perhatikan kisah
Nani di bawah
ini. Apa yang
dapat Anda katakan
tentang cara belajar Nani? Apa
kelemahannya? Adakah kelebihannya?
Nani, seorang
anak kecil bertanya
pada ayahnya. Bagaikan
seorang guru, Nani mengajukan
pertanyaan sehingga terjadi percakapan sebagai berikut.
Nani (N): “Ayah, dua
ditambah dua ada berapa? Ayo …!”
Ayah (A): “Menurut
Nani?”
N: “Ayah dulu.”
A: “Ya. Ya. Dua
tambah dua sama dengan empat.”
N: “Betul.” Ia
berlagak seperti guru yang membenarkan jawaban siswanya.
A: “Tahu dari mana
bahwa dua tambah dua sama dengan empat?”
N: “Dari Ari. Ari
tahu dari bapaknya.”
A: “Nani percaya?”
N: “Ya. Bapaknya Ari
kan pintar.”
A: “Mengapa dua
tambah dua sama dengan empat?”
N: “Ya karena dua
tambah dua sama dengan empat.”
A: “Kalau satu tambah
dua?”
N: “Nani belum tahu.”
A: “Mengapa?”
N: “Ari belum memberi
tahu. Mungkin bapaknya belum mengajarinya.”
A: “Kalau satu tambah
satu?”
N: “Dua.”
A: “Yang benar?”
N: “Tiga … tiga …
tiga … .”
A: “Yang benar. Masak
tiga.”
N: “Empat … empat … !
Lima …! Tujuh … tujuh … . Kalau begitu berapa?”
A: “Ya dua.”
N: “Tadi Nani kan
sudah bilang dua. E … Ayah bohong ya.”
Teori belajar
Ausubel menitikberatkan pada
bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya. Menurut
Ausubel terdapat dua
jenis belajar yaitu
belajar hafalan
(rote-learning) dan belajar
bermakna (meaningful-learning). Menurut
Anda, proses pembelajaran yang
dilakukan Nani termasuk belajar hafalan (rote-learning) ataukah belajar bermakna
(meaningful-learning)?
Mengapa? Lalu apa
pengertian belajar hafalan? Apa
pengertian belajar bermakna (meaningful-learning)?
a. Belajar Hafalan
Ausubel menyatakan
hal berikut sebagaimana dikutip Bell (1978) mengenai belajar hafalan (rote-learning): “…
, if the
learner’s intention is
to memorise it
verbatim,i.e., as a
series of
arbitrarily related word,
both the learning
process and the learning outcome must necessarily be
rote and meaningless” (p.132). Jika seorang siswa berkeinginan
untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan dengan hal yang lain maka baik
proses maupun hasil
pembelajarannya dapat dinyatakan
sebagai hafalan (rote) dan
tidak akan bermakna (meaningless) sama sekali
baginya. Contoh belajar hafalan
yang paling jelas
terjadi sebagaimana kisah
Nani di atas,
yang dapat menjawab soal
penjumlahan 2 + 2 ataupun
1 + 1
dengan benar. Namun
ketika ia
ditanya bapaknya
mengapa 2 + 2 = 4?, ia-pun hanya
menjawab: ”Ya karena 2 + 2 =4,” tanpa alasan yang jelas. Artinya, Nani
hanya meniru pada apa yang diucapkan teman sebayanya. Tidaklah salah jika ada
orang yang lalu menyatakan bahwa Nani telah
belajar dengan membeo.
Mengacu pada pendapat
Ausubel di atas,
contoh ini menunjukkan bahwa Nani
hanya belajar
hafalan dan belum
termasuk berlajar bermakna. Alasannya,
ia hanya mengingat
sesuatu tanpa mengaitkan hal yang
satu dengan hal yang
lain, baik ketika
proses pembelajaran terjadi
maupun pada hasil pembelajarannya ketika ia
ditanya bapaknya, sehingga Nani
dapat dinyatakan sebagai belajar
hafalan (rote) dan belum belajar bermakna (meaningless).
Seperti halnya seekor
burung beo yang dapat menirukan ucapan tertentu namun sama sekali tidak
mengerti isi ucapannya
tersebut, maka seperti
itulah Nani yang
dapat menjawab bahwa 2 + 2 adalah 4 dengan benar namun ia sama sekali
tidak tahu arti 2 + 2 dan tidak tahu juga mengapa hasilnya harus 4. Jika Ari,
temannya, menyatakan 2 + 3 =
5 maka sangat
besar kemungkinannya jika
Nani akan mengikutinya. Cara belajar dengan membeo seperti yang
telah dilakukan Nani tadi oleh David P Ausubel (Orton, 1987) disebut dengan
belajar hafalan (rote learning). Salah satu kelemahan dari belajar
hafalan atau belajar
membeo telah ditunjukkan Nani
ketika ia tidak memiliki dasar
yang kokoh dan
kuat untuk mengembangkan pengetahuannya tersebut. Ia
tidak bisa menjawab soal baru seperti 1 + 2 maupun 2 + 1 jika belum ada yang
mengajari hal tersebut. Karena itu, dapat terjadi bahwa sebagian siswa ada yang
dapat mengerjakan soal
ketika ia belajar
di kelas, namun
ia tidak dapat
lagi mengerjakan soal
yang sama setelah
beberapa hari kemudian
jika proses pembelajarannya
hanya mengandalkan pada kemampuan mengingat saja seperti yang dilakukan Nani di
atas. Sesuatu yang dihafal akan cepat
dan mudah hilang, namun sesuatu yang dimengerti akan
tertanam kuat di benak siswa. Materi dalam pelajaran matematika bukanlah pengetahuan yang
terpisah-pisah namun merupakan satu kesatuan, sehingga
pengetahuan yang satu
dapat berkait dengan
pengetahuan yang lain. Seorang
anak tidak akan mengerti penjumlahan dua bilangan jika ia tidak tahu arti dari
“1” maupun “2”. Ia harus tahu bahwa “1” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang
tunggal seperti banyaknya kepala, mulut, lidah dan seterusnya; sedangkan “2”
menunjuk pada banyaknya sesuatu
yang berpasangan seperti
banyaknya mata, telinga, kaki,
… dan seterusnya. Sering terjadi, anak kecil salah menghitung sesuatu.
Tangannya masih ada di batu ke-4 namun ia sudah mengucapkan “lima” atau malah
“enam”. Kesalahan kecil
seperti ini akan
berakibat pada kesalahan
menjumlah dua bilangan. Hal yang
lebih parah akan terjadi
jika ia masih sering meloncat-loncat di saat membilang dari satu
sampai sepuluh.
b. Belajar Bermakna
Perhatikan tiga
bilangan berikut.
(1) 89.107.145
(2) 54.918.071
(3) 17.081.945
Manakah bilangan yang
paling mudah dan paling sulit diingat siswa?
Apakah untuk dapat
mengingat bilangan-bilangan di atas perlu dikaitkan dengan hal tertentu yang
sudah dimengerti siswa?
Bagaimana merancang
pembelajaran matematika yang bermakna?
Beberapa pertanyaan yang
dapat diajukan adalah:
Mengapa bagi sebagian
siswa diIndonesia, bilangan ketiga,
yaitu 17.081.945, merupakan bilangan yang
paling mudah diingat? Mengapa bilangan kedua yaitu 54.918.071 merupakan
bilangan yang paling mudah diingat
berikutnya? Mengapa bilangan pertama
yaitu 89.107.145 merupakan
bilangan yang paling sulit diingat atau dipelajari?
Bilangan ketiga,
yaitu 17.081.945 merupakan
bilangan yang paling
mudah diingat hanya jika
bilangan tersebut dikaitkan
dengan tanggal Kemerdekaan
RI yang jatuh pada
17 Agustus 1945 (atau
17-08-1945). Namun bilangan ketiga
tersebut, yaitu 17.081.945 akan
sulit diingat (dipelajari) jika
bilangan itu tidak
dikaitkan dengan tanggal Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Jadi, proses pembelajaran
dimana kita dapat mengaitkan suatu
pengetahuan yang baru
(dalam hal ini
bilangan 17.081.945) dengan pengetahuan yang lama (dalam hal ini
17-08-1945, yaitu tanggal Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945) seperti itulah yang
disebut dengan pembelajaran
bermakna dan hasilnya
diharapkan akan tersimpan lama.
Misalkan saja Anda
diminta untuk membantu siswa Anda untuk mengingat bilangan kedua, yaitu
54.918.071. Anda dapat
saja meminta setiap
siswa untuk mengulang- ulang menyebutkan bilangan di
atas sehingga mereka
hafal, maka proses pembelajarannya disebut dengan belajar
membeo atau belajar hafalan seperti sudah dibahas pada
bagian sebelumnya. Sebagai
akibatnya, bilangan tersebut akan
cepat hilang jika tidak
diulang-ulang lagi. Bagaimana
proses menghafal bilangan
kedua, yaitu 54.918.071 agar
menjadi bermakna? Yang
perlu diperhatikan adalah
adanya hubungan antara bilangan
kedua dengan bilangan
ketiga. Bilangan kedua
bisa didapat dari bilangan
ketiga namun dengan
menuliskannya dengan urutan
terbalik.
Jadi, agar proses
mengingat bilangan kedua dapat bermakna, maka proses mengingat bilangan kedua
(yang baru) harus dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, yaitu
tentang 17-08-1945 akan tetapi dengan membalik urutan penulisannya menjadi
5491-80-71.
Untuk bilangan
pertama, yaitu 89.107.145.
Bilangan ini hanya
akan bermakna jika bilangan itu
dapat dikaitkan dengan
pengetahuan yang sudah
ada di dalam
pikiran kita. Contohnya jika bilangan itu berkait dengan nomor telepon
atau nomor lain yang dapat kita kaitkan.
Tugas guru adalah
membantu memfasilitasi siswa
sehingga bilangan pertama tersebut
dapat dikaitkan dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika
seorang siswa tidak
dapat mengaitkan antara
pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, maka proses pembelajarannya disebut
dengan belajar yang tidak bermakna (rote learning). Berdasar contoh di atas,
dapatlah disimpulkan
bahwa suatu proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami para
siswa jika guru mampu untuk memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga siswa
dapat mengaitkan pengetahuan yang
baru dengan pengetahuan yang
sudah dimilikinya. Itulah
inti dari belajar
bermakna (meaningful learning)
yang telah digagas David P Ausubel.
Dari apa
yang dipaparkan di
atas jelaslah bahwa
untuk dapat menguasai
materi matematika,
seorang siswa harus
menguasai beberapa kemampuan dasar
lebih dahulu. Setelah itu,
siswa harus mampu
mengaitkan antara pengetahuan
yang baru dengan pengetahuan yang
sudah dipunyainya. Ausubel
menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip
Orton (1987:34): “If
I had to
reduce all of
educational psychology to just one principle, I would say this: The most
important single factor influencing learning is what the learner already knows.
Ascertain this and teach him accordingly.”
Jelaslah, menurut Ausubel,
bahwa pengetahuan yang
sudah dimiliki siswa akan
sangat penentukan berhasil
tidaknya suatu proses
pembelajaran.
Disamping itu,
seorang guru dituntut
untuk mengecek, mengingatkan kembali ataupun memperbaiki pengetahuan prasyarat siswanya
sebelum ia memulai membahas topik baru, sehingga
pengetahuan yang baru tersebut dapat berkait dengan pengetahuan yang lama yang
lebih dikenal sebagai belajar bermakna tersebut.
6. Teori Belajar Bruner
Berbeda dengan
Teori Belajar Piaget
yang telah membagi
perkembangan kognitif
seseorang atas empat
tahap berdasar umurnya,
maka Bruner membagi
penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap, yaitu tahap enaktif, ikonik dan
simbolik. Di samping itu, Bruner
juga membahas teori-teori
tentang cara belajar
dan mengajar matematika. Bruner
menekankan suatu proses
bagaimana seseorang memilih,mempertahankan, dan
mentransformasi
informasi secara aktif.
Proses tersebut merupakan inti
utama dari belajar.
Oleh karenanya Bruner
memusatkan perhatian pada masalah
apa yang dilakukan manusia terhadap informasi yang menurut Bruner, ada tiga
tahap belajar, yaitu enaktif, ikonik
dan simbolik. Di samping itu,
Bruner juga membahas teori-teori tentang
cara belajar dan mengajar matematika. Bruner
menekankan suatu proses
bagaimana seseorang memilih, mempertahankan, dan
mentransformasi informasi secara
aktif. Proses tersebut merupakan inti utama dari belajar. Oleh
karenanya Bruner memusatkan perhatian
pada masalah apa
yang dilakukan manusia
terhadap informasi yang diterimanya dan apa yang dilakukan
setelah menerima informasi tersebut untuk pemahaman dirinya.
a. Tiga Tahap Proses
Belajar
Teori Bruner tentang
tiga tahap proses belajar berkait dengan tiga tahap yang harus dilalui siswa
agar proses
pembelajarannya menjadi optimal,
sehingga akan terjadi internalisasi pada
diri siswa, yaitu
suatu keadaan dimana
pengalaman yang baru dapat menyatu ke dalam struktur
kognitif mereka. Ketiga tahap pada proses belajar tersebut adalah:
1) Tahap
Enaktif. Pada tahap
ini, para siswa
mempelajari matematika dengan menggunakan sesuatu yang
“konkret” atau “nyata”,
yang berarti dapat
diamati dengan menggunakan panca indera. Contohnya, ketika akan membahas
penjumlahan dan pengurangan di
awal pembelajaran, siswa
dapat belajar dengan
menggunakan batu, kelereng, buah,
lidi, atau dapat
juga memanfaatkan beberapa
model atau alat peraga lainnya. Ketika belajar
penjumlahan dua bilangan bulat, para siswa dapat saja memulai proses
pembelajarannya dengan menggunakan beberapa benda
nyata sebagai “jembatan” seperti:
Garis bilangan
dalam bentuk dua
bilah papan. Gambar
ini menunjukkan bahwa posisi ‘−3’ pada bilah papan bagian
bawah sudah disejajarkan dengan posisi ‘0’ pada bilah papan
bagian atas, sehingga
didapat beberapa hasil
penjumlahan −3 dengan bilangan lainnya. Contohnya:−3 + 5 = 2 (lihat tanda ruas garis
berpanah) atau −3 + (−2) = −5
Semacam koin dari
plastik dengan tanda “+” dan “–“.
Dengan cara
ini, diharapkan siswa
akan lebih mudah
mempelajari materi yang diberikan. Dengan demikian cara pembelajaran
matematika adalah memulai dengan sesuatu
yang benar-benar konkret
dalam arti dapat
diamati dengan menggunakan panca indera.
2) Tahap
Ikonik. Para siswa
sudah dapat mempelajari
suatu pengetahuan dalam bentuk gambar
atau diagram sebagai
perwujudan dari kegiatan
yang menggunakan benda konkret
atau nyata. Sebagai contoh, dalam proses pembelajaran penjumlahan dua bilangan
bulat dimulai dengan menggunakan benda nyata berupa garis bilangan sebagai
“jembatan”, maka tahap ikonik untuk 5 + (–3) = 2 dapat berupa gambar atau diagram.
3) Tahap
Simbolik. Menurut Bruner,
tahap simbolik adalah
tahap dimana pengetahuan
tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain, siswa
harus mengalami proses abstraksi dan idealisasi. Proses abstraksi terjadi pada
saat seseorang menyadari adanya kesamaan di atara per bedaan-perbedaan yang ada
(Cooney dan Henderson, 1975).
Perbedaan yang
terjadi saat menentukan
hasil dari 2
+ 3 ataupun
3 + 4
baik pada tahap enaktif
maupun ikonik merupakan
proses abstraksi yang
terjadi dikarenakan siswa
menyadari adanya kesamaan
gerakan yang dilakukannya, yaitu
ia akan bergerak dua
kali ke kanan.
Dengan bantuan guru,
siswa diharapkan dapat menyimpulkan bahwa penjumlahan dua
bilangan positif akan menghasilkan bilangan positif pula. Tidaklah mungkin
hasil penjumlahan dua bilangan positif
akan berupa bilangan negatif.
Melalui proses
abstraksi yang serupa, pikiran siswa dibantu untuk memahami bahwa penjumlahan
dua bilangan negatif akan menghasilkan bilangan negatif juga. Karena dua kali
pergerakan ke kiri
akan menghasilkan suatu titik
yang terletak beberapa langkah di sebelah kiri titik awal
0. Melalui proses ini, siswa juga dapat memahami bahwa
jika 2 + 3 = 5 maka −2 + (−3) = −5. Dengan demikian siswa dapat dengan mudah menentukan
−100 + (−200)
= −300 karena
100 + 200
= 300 dan −537 +
(−298) = −835 karena
537 + 298 = 835. Pada intinya, menentukan penjumlahan dua bilangan negatif adalah sama dengan
menentukan penjumlahan dua bilangan positif, hanya tanda dari hasil
penjumlahannya haruslah negatif.
Proses abstraksi yang
lebih sulit akan terjadi pada
penjumlahan dua bilangan bulat yang tandanya berbeda, hasilnya bisa
positif dan bisa juga negatif, tergantung pada seberapa jauh
perbedaan gerakan ke
kiri dengan gerakan
ke kanan. Guru
dapat meyakinkan siswanya bahwa hasil penjumlahan dua bilangan yang
tandanya berbeda akan didapat dari selisih atau beda kedua bilangan tersebut
tanpa melihat tandanya.
Sebagai contoh, 2 − 3
= − 1 karena beda atau selisih antara 2 dan 3 adalah 1 sedangkan
hasilnya bertanda negatif
karena pergerakan ke
kiri lebih banyak. Namun 120 − 100= 20 karena beda
antara 100 dan
120 adalah 20
serta pergerakan ke kanan lebih banyak.
b. Empat Teori
Belajar dan Mengajar
Meskipun pepatah Cina
menyatakan “Satu gambar
sama nilainya dengan
seribu kata”, namun menurut
Bruner, pembelajaran sebaiknya dimulai
dengan menggunakan benda nyata
lebih dahulu. Karenanya,
seorang guru ketika mengajar matematika hendaknya menggunakan model atau
benda nyata untuk topik-topik
tertentu yang dapat membantu pemahaman siswanya. Bruner mengembangkan empat teori
yang terkait dengan asas peragaan, yakni:
1) Teori konstruksi
menyatakan bahwa siswa lebih mudah memahami ide-ide abstrak dengan menggunakan peragaan
kongkret (enactive) dilanjutkan
ke tahap semi
kongkret (iconic) dan
diakhiri dengan tahap
abstrak (symbolic). Dengan
menggunakan tiga tahap tersebut, siswa dapat mengkonstruksi suatu
representasi dari konsep atau prinsip
yang sedang dipelajari.
2) Teori notasi
menyatakan bahwa simbol-simbol abstrak harus dikenalkan secara bertahap, sesuai dengan tingkat perkembangan
kognitifnya. Sebagai contoh:
a). Notasi 3.2 dapat
dikaitkan dengan 3.2 tablet.
b) Soal seperti ... + 4 = 7 dapat diartikan
sebagai menentukan bilangan
yang kalau ditambah 4 akan
menghasilkan 7. Notasi yang baru adalah 7 − 4 ... .
3) Teori
kekontrasan atau variasi
menyatakan bahwa konsep
matematika dikembangkan
melalui beberapa contoh
dan bukan contoh
4) Teori
konektivitas menyatakan bahwa
konsep tertentu harus
dikaitkan dengan konsep-konsep lain yang relevan. Sebagai
contoh, perkalian dikaitkan dengan luas
persegi panjang dan penguadratan dikaitkan dengan luas persegi.
Penarikan akar pangkat dua dikaitkan
dengan menentukan panjang sisi suatu persegi jika luasnya diketahui.
Lebih lanjut,
berbagai jenis kegiatan
dalam pembelajaran yang
menerapkan teori- teori Bruner
dapat diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti yang dikemuka- kan oleh Edgar
Dale dalam bukunya “Audio Visual Methods
in Teaching” sebagaimana dikutip Heinich, Molenda, dan Russell (1985:4) sebagai
berikut.
1) Pengalaman langsung.
Artinya, siswa diminta
untuk mengalami, berbuat
sendiri dan mengolah, serta merenungkan apa yang dikerjakan.
2) Pengalaman yang
diatur. Sebagai contoh dalam membicarakan sesuatu benda, jika benda tersebut terlalu besar atau kecil,
atau tidak dapat dihadirkan di kelas maka
benda tersebut dapat
diragakan dengan model.
Contohnya: peta, gambar
benda- benda yang tidak mungkin
dihadirkan di kelas, model kubus, dan kerangka balok,
3) Dramatisasi.
Misalnya: permainan peran, sandiwara boneka yang bisa digerakkan ke kanan atau ke kiri pada garis bilangan.
4) Demonstrasi.
Biasanya dilakukan dengan
menggunakan alat-alat bantu
seperti papan tulis,
papan flanel, OHP
dan program komputer.
Banyak topik dalam
pembelajaran matematika di
SD yang dapat
diajarkan melalui demonstrasi, misalnya: penjumlahan, pengurangan, dan
pecahan.
5) Karyawisata.
Kegiatan ini sebenarnya sangat baik untuk menjadikan matematika sebagai atau menjadi pelajaran yang disenangi siswa. Kegiatan yang diprogram- kan
dengan melibatkan penerapan
konsep matematika seperti
mengukur tinggi objek
secara tidak langsung,
mengukur lebar sungai,
mendata kecenderungan kejadian
dan realitas yang
ada di lingkungan
merupakan kegiatan yang
sangat menarik dan
sangat bermakna bagi
siswa serta bagi
daya tarik pelajaran
matematika di kalangan siswa.
6) Pameran.
Pameran adalah usaha
menyajikan berbagai bentuk
model-model kongkret yang dapat digunakan untuk membantu memahami
konsep matematika dengan cara yang menarik. Berbagai bentuk
permainan matematika ternyata dapat
menyedot perhatian siswa
untuk mencobanya, sehingga
jenis kegiatan ini
juga cukup bermakna untuk
diterapkan dalam pembelajaran matematika.
7) Televisi
sebagai alat peragaan.
Program pendidikan matematika
yang disiarkan melalui media TV juga merupakan alternatif
yang sangat baik untuk pembelajaran
matematika.
8) Film sebagai alat
peraga
9) Gambar sebagai
alat peraga
Dengan demikian
jelaslah bahwa asas
peragaan dalam bentuk
enaktif dan ikonikselama pembelajaran matematika adalah
sangat penting untuk
meningkatkan pemahaman dan daya
tarik siswa dalam
mempelajari matematika sebelum
mereka menggunakan bentuk-bentuk simbolik.
7. Strategi
Pembelajaran
Kemp (dalam Sanjaya,
2007: 126) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan
pembelajaran yang harus
dikerjakan guru dan
siswa agar tujuan pembelajaran dapat
dicapai secara efektif
dan efisien. Senada
dengan Kemp,
Suparman (1997:
157-159) menyimpulkan dari
pendapat yang dikemukakan beberapa ahli,
bahwa strategi pembelajaran merupakan perpaduan dari
urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi
pelajaran dan siswa,
peralatan dan bahan, serta waktu
yang digunakan dalam
proses pembelajaran untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
Dengan perkataan lain,
strategi pembelajaran adalah
cara yang sistematik
dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu. Ini berkenaan dengan bagaimana menyampaikan isi
pelajaran. Lebih lanjut dikemukakan,
strategi pembelajaran mengandung empat
komponen utama, yaitu: urutan kegiatan
pembelajaran, metode pembelajaran media pembelajaran, dan waktu yang digunakan
dalam proses pembelajaran.
Menurut Mulyasa
dalam Akhmad Sudrajat
(2008), ada lima
strategi pembelajaran yang dianggap
sesuai dengan tuntutan
kurikulum berbsis kompetensi, yaitu:
(1) pembelajaran kontekstual, (2)
bermain peran, (3)
pembelajaran
partisipatif, (4)
pembelajaran tuntas, dan
(5) pembelajaran dengan
modul. Sementara Gulo
dalam Akhmad Sudrajat (2008) memandang pentingnya strategi pembelajaran
inkuiri.
Dalam suatu
pembelajaran bisa terjadi
mengkombinasikan beberapa strategi pembelajaran, misalnya
pembelajaran statistika di
kelas VI digunakan
gabungan strategi bermain peran dan pembelajaran partisipatif.
8. Media pembelajaran
Matematika
a. Pengertian
Kata
media berasal dari
bahasa Latin yang
adalah bentuk jamak
dari medium, batasan
mengenai pengertian media
sangat luas, namun
kita membatasi pada
media pendidikan saja
yakni media yang
digunakan sebagai alat
dan bahan kegiatan pembelajaran. Media pembelajaran
diartikan sebagai semua benda yang
menjadi perantara dalam terjadinya pembelajaran. Perbedaan antar media
dengan alat peraga
terletak pada fungsi,
bukan substansinya. Sumber
belajar dikatakan alat
peraga jika hal
tersebut fungsinya hanya
sebagai alat bantu.
Hal tersebut dikatakan media
jika sumber belajar
itu merupakan bagian
yang integral dari
seluruh kegiatan belajar.
Berdasar fungsinya media
dapat berbentuk alat
peraga dan sarana. Namun dalam
keseharian kita tidak
terlalu membedakan antara
alat peraga dan sarana.
Sehingga semua benda
yang digunakan sebagai
alat dalam pembelajaran matematika kita sebut alat
peraga matematika. Demikian pula media
matematika kita sebut alat peraga matematika.
Menurut
Estiningsih (1994) alat
peraga merupakan
media pembelajaran yang mengandung atau
membawakan ciri-ciri konsep yang
dipelajari. Contoh papan tulis, buku tulis, dan daun pintu yang
berbentuk persegi panjang dapat berfungsi
sebagai alat peraga pada saat guru menerangkan bangun geometri dalam
persegi panjang. Fungsi
utama alat peraga
adalah untuk menurunkan
keabstrakan dari konsep, agar anak mampu menangkap arti
sebenarnya dari konsep yang dipelajari.
Dengan
melihat, meraba, dan
memanipulasi alat peraga
maka anak mempunyai
pengalaman nyata dalam kehidupan
tentang arti konsep.
Sedangkan sarana merupakan
media pembelajaran yang fungsi utamanya sebagai alat bantu untuk melakukan pembelajaran. Dengan menggunakan
sarana tersebut diharapkan dapak
memperlancar pembelajaran. Contoh: papan tulis, jangka, penggaris, LT
(lembar tugas), LK (lembar kerja),
alat-alat permainan.
b. Tujuan Penggunaan
Media Pembelajaran
1)
Memberikan kemampuan berpikir matematika secara kreatif. Bagi
sebagian anak, matematika tampak
seperti suatu sistem yang kaku, yang hanya berisi simbol-simbol dan sekumpulan dalil-dalil
untuk dipecahkan. Padahal sesungguhnya matematika memiliki banyak hubungan
untuk mengembangkan kreatifitas.
2) Mengembangkan sikap yang menguntungkan ke
arah berpikir matematika. Suasana
pembelajaran matematika di kelas haruslah sedemikian rupa, sehingga para peserta didik dapat menyukai pelajaran
tersebut. Suasana semacam ini merupakan
salah satu hal yang dapat membuat para peserta didik memperoleh kepercayaan
diri akan kemampuannya dalam belajar matematika melalui pengalaman-pengalaman yang akrab dengan
kehidupannya.
3)
Menunjang matematika di luar kelas, yang menunjukkan penerapan matematika dalam keadaan sebenarnya. Peserta
didik dapat menghubungkan pengalaman belajarnya dengan pengalaman-pengalaman
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
menggunakan keterampilan masing-masing mereka dapat menyelidiki atau mengamati
benda-benda di sekitarnya, kemudian
mengorganisirnya untuk memecahkan
suatu masalah.
4) Memberikan motivasi dan memudahkan
abstraksi. Dengan media pembelajaran diharapkan peserta didik lebih memperoleh
pengalaman-pengalaman yang baru dan menyenangkan, sehingga mereka dapat
menghubungkannya dengan matematika yang
bersifat abstrak.
5) Dari tujuan di atas diharapkan dengan
bantuan penggunaan media pembelajaran dalam
pembelajaran dapat memberikan permasalahan-permasalahan menjadi lebih menarik
bagi anak yang
sedang melakukan kegiatan
belajar. Karena penemuan-penemuan yang diperoleh dari
aktifitas anak biasanya bermula dari
munculnya hal-hal yang
merupakan tanda tanya, maka
permasalahan yang diselidiki jawabannya itu harus didasarkan
pada obyek yang menarik perhatian
anak. Jadi bila
memungkinkan hal itu
haruslah dinyatakan dalam
bentuk pertanyaan yang
mengarah pada bahan
diskusi dalam berbagai
cabang penyelidikan,
misalnya dari buku, dari guru atau bahkan dari anak sendiri, hal itu
dapat ditentukan melalui
peragaan dari guru
dan diskusi yang
melibatkan seluruh kelas
atau oleh kelompok
kecil/seorang anak yang
bekerja dengan lembar kerja.
Dengan menggunakan suatu
lembar kerja, mereka dapat menggunakan bahan-bahan yang
dirancang untuk mengarahkan dalam menjawab pertanyaan yang akan membantu
mereka menemukan suatu jawaban yang
dimaksudkan pada arti pertanyaannya. Oleh karena itu sebaiknya setiap media pembelajaran dilengkapi dengan kartu-kartu atau lembar
kerja.
c. Fungsi Media
Pembelajaran
(1) Menciptakan situasi pembelajaran yang
efektif (2) Bagian integral dari keseluruhan situasi pembelajaran (3)
Meletakkan dasar-dasar yang kongkrit dan konsep yang abstrak sehingga dapat
mengurangi verbalisme ( 4) Membangkitkan motivasi belajar ( 5) Mempertinggi
mutu pembelajaran
d. Manfaat Media
Pembelajaran
(1)
Memperlancar proses interaksi ( 2)
Penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan (3) Proses pembelajaran menjadi menarik (4) Proses pembelajaran menjadi interaktif (5) Jumlah waktu pembelajaran dapat dikurangi (6) Kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan (7) Proses belajar dapat terjadi dimana dan kapan
saja ( 8) Meningkatkan sikap positif
siswa (9) Peran guru lebih positif dan
produktif (10)Mengatasi keterbatasan ruang (11)Menimbulkan pengalaman sama
e. Prinsip-prinsip Pemilihan Media Pembelajaran
(1) Berdasarkan tujuan pembelajaran (2) Sesuai karakteristik peserta didik (3) Sesuai dengan kemampuan guru (4) Sesuai
dengan situasi kondisi, waktu dan tempat (5)
Sesuai dengan karakteristik media pembelajaran (6) Sesuai dengan ketersediaan media pembelajaran
f. Prinsip Umum
Penggunaan Media Pembelajaran
(1)
Media tidak dapat 100 %
menggantikan peran guru (2) Perlu
persiapan yang matang: siswa, guru,
alat/program, tempat (3) Pertimbangkan
mutu media : handal, sistem, spesipikasi, praktis, keselamatan/ keamanan (4) Media harus jelas dan menarik ( 5) Ketersediaan media (6)
Pertimbangkan waktu yang ada
PENUTUP
A. Simpulan
1. Empat tahap
perkembangan kognitif siswa
menurut Piaget adalah:
(1) tahap sensori
motor (0 – 2
tahun), (2) tahap
pra-operasional (2 – 7
tahun), (3) tahap
operasional konkret (7 – 11
tahun), dan (4) tahap operasional formal (11 tahun ke atas).
2. Siswa SD/MI masih ada pada tahap operasional konkret
yaitu ia dapat membuat kesimpulan dari suatu situasi nyata atau
dengan menggunakan benda konkret, dan
mampu mempertimbangkan dua
aspek dari suatu
situasi nyata secara
bersama- sama (misalnya,
antara bentuk dan
ukuran) karenanya proses
pembelajaran di SD/MI sebaiknya dimulai dengan penggunaan
benda konkret.
3. Ada
empat faktor yang
mempengaruhi perkembangan kognitif
seseorang, yaitu: kematangan, pengalaman (fisik
dan logika-matematis), transmisi sosial,
dan penyeimbangan. Kematangan
(maturation) berkait dengan
kesempurnaan otak dan sistem syaraf secara fisik. Pengalaman
(experience) berkait dengan interaksi
manusia dengan lingkungannya, yang
dapat berupa pengalaman
fisik (physical experience) dan
pengalaman logika-matematis (logico-mathematical experience) ketika
ia mulai membanding-bandingkan hasil pengalaman fisik
tersebut. Transmisi
sosial (social transmission), yaitu
interaksi dan kerjasama yang
dilakukan oleh manusia dengan orang lain. Penyeimbangan (equilibration)
adalah suatu proses sebagai akibat
ditemuinya pengalaman (informasi) baru.
4. ‘Belajar
hafalan’ atau ‘rote-learning’ adalah
sesuatu pembelajaran yang
tidak mengaitkan antara
pengetahuan yang baru dipelajari dengan hal lain
yang sudah dimiliki si
siswa. Contohnya, siswa
hanya hafal bahwa
5 − (−2) = 5
+ 2 =
7, namun ia
tidak dapat menjelaskan mengapa
hasilnya begitu. Kelemahannya adalah hasil pembelajarannya menjadi cepat
dilupakan. Contoh lainnya adalah si
Nani yang hafal 2 + 2 = 4 namun
ia tidak dapat menjelaskan
mengapa hasilnya begitu.
5. Pembelajaran
bermakna
(meaningful-learning)
adalah pembelajaran yang
dapat mengaitkan antara
pengetahuan yang baru
dengan pengetahuan yang
sudah dimiliki seseorang.
Contohnya, pembelajaran seperti bilangan 7.532 akan mudah dipelajari jika dikaitkan dengan empat
bilangan prima pertama akan tetapi ditulis
terbalik. Kelebihannya adalah
mudah dipelajari karena
empat bilangan prima
pertama adalah 2, 3, 5 dan 7.
6. ‘Belajar bermakna’
jauh lebih baik dibanding ‘belajar hafalan’.
7. Proses
pembelajaran yang menggunakan
tahapan: enaktif, ikonik,
dan simbolik adalah
pembelajaran yang menggunakan: (1)
benda konkret (benda
nyata), (2) gambar (visual), dan diakhiri dengan (3)
simbol matematika.
Daftar Pustaka
Akhmad Sudrajat.
2008. Strategi Pembelajaran. (Online)
www.akhmadsudrajat.wordpress.com . diakses tangga. 16 Juli 2012
Bodner, G.M. 1986.
Constructivism: A theory of knowledge. Journal of Chemical Education. Vol. 63 no. 10.0873-878.
Cooney, T.J.; Davis,
E.J.; Henderson, K.B. 1975. Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics. Boston: Houghton Mifflin
Company.
Estiningsih, E.
1994. Landasan Teknik
Pengajaran Hitung SD. Yogyakarta: PPPG
Matematika.
Fajar Shadiq
dan Amini Mustajab.
2011. Penerapan Teori
Belajar dalam Pembelajaran Matematika di
SD. Modul Matematika SD
Program BERMUTU . Jakarta.
Heinich, R;
Molenda, M; Russell,
J.D. 1985. Instructional and
the New Technologies of Instruction. New York: John
Wiley & Sons.
Orton, A.
1987. Learning Mathematics. London: Casell Educational Limited
sumber : modul1; bahan PLPG Diklat Pasca UKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar