Sabtu, 04 Mei 2013

PANDUAN MEMAHAMI KURIKULUM 2013 Bagian 3

PENGERTIAN DAN KONSEP KURIKULUM TERINTEGRASI SAINSTEK DENGAN IMTAQ
 B. Pengertian dan Konsep Kurikulum Terintegrasi
Istilah kurikulum terintegrasi umumnya diambil dari istilah “integrated curriculum”. Istilah ini sebagaimana Fogarty (1991:xii-viii) adalah suatu model kurikulum yang dapat mengintegrasikan skills, themes, concepts, and topics baik dalam bentuk within single disciplines, across several disciplines, dan within and across learners. Di samping istilah “integrated”, istilah kurikulum terpadu juga dapat dirujuk dari istilah “interdisciplinary curriculum” dan “unit curriculum” . Istilah “interdisciplinary curriculum”, sebagaimana didefinisikan oleh Maurer (1994:3) adalah: “the organization and tranfer of knowledge under a united or interdisciplinary theme”. Sedangkan istilah “unit curriculum”, Caswell sebagaimana dikutip oleh Nasution (1964:89) adalah "… a series of related activities engaged in by children in the process of realizing a dominating purpose which is compatible with the aims of education". Dalam hal ini, Nasution (1964: 89) menyatakan bahwa dalam kurikulum unit tersebut menujukkan adanya hubungan antara aktivitas-aktivitas anak-anak di sekolah, pelajaran yang satu tidak lepas dari yang lain dan merupakan satu kesatuan atau keseluruhan. Dari berbagai pengertian istilah di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum terpadu sebagai sebuah konsep dapat dikatakan sebagai sebuah sistem dan pendekatan pembelajaran yang melibatkan beberapa disiplin ilmu atau mata pelajaran/bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna dan luas kepada peserta didik. Dikatakan bermakna karena dalam konsep kurikulum terpadu, peserta didik akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari itu secara utuh dan realistis. Dikatakan luas karena pengetahuan yang mereka dapatkan tidak dibatasi oleh lingkup disiplin tertentu saja, tetapi melingkupi semua lintas disiplin yang dipandang berkaitan antar satu sama lain. Sebagaimana dikemukakan Fogarty di atas dapat dalam bentuk antar dua disiplin atau inter beberapa disiplin ilmu. Dalam kontek pelajaran disekolah, konsep kurikulum terpadu dapat merupakan pemaduan materi, tema, pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang terpadap pada dua atau bebeapa mata pelajaran/bidang studi yang terdapat di sekolah. C. Pengertian dan Konsep Sainstek dan Imtaq Istilah sainstek adalah merupakan paduan istilah antara ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Sains dan teknologi merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan; sains merupakan sumber teknologi dan teknologi merupakan aplikasi sains. Sains dapat diartikan sebagai: himpunan rasionalitas kolektif insani, yakni: himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar. Sedangkan teknologi adalah sebagai himpunan pengetahuan terapan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1996: 27, 58-60). Sains sebagai ilmu pengetahuan manusia pada dasarnya meliputi Natural Science (Ilmu Pengetahuan Alam) seperti Biologi, Fisika dan Kimia dan Social Science (Ilmu Pengetahuan Sosial) seperti Ilmu Sejarah, Ekonomi, Bahasa dan lain-lain. Istilah imtaq adalah merupakan gambaran karakteristik nilai-nilai keagamaan (keislaman) yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Imtaq merupakan urusan yang sarat akan nilai, kepercayaan, pemahaman, sikap, perasaan dan perilaku yang bersumber dari al-Qur`an dan Hadist (Sanusi, 1999: 2). Kamrani (1999:354 dan 360) menyebutnya dengan istilah "nilai ilahiah". Selanjutnya beliau menjelasakan bahwa untuk mendapatkan gambaran mengenai nilai ilahiah ini terdapat banyak sistimatika yang diketengahkan oleh para ahli. Mahmoud Syaltout misalnya membaginya kepada Aqidah dan Syari`ah. Pembagian lain dalam bentuk Islam, Iman dan Ihsan. Ada lagi yang membaginya kepada Aqidah, Ibadah, Mu`amalah dan Akhlak. Namun ada pula yang membaginya kepada Iman atau Aqidah, Ibadah dan Muamalah. Dari berbagai sistimatika ini beliau lebih cenderung memilih sistimatika terakhir. Dalam konteks iman dan taqwa (imtaq) sebagai sesuatu nilai, ia tidak semata-mata bersisikan nilai ilahiah, tetapi di dalamnya juga terdapat nilai insaniah. Karenanya, menurut Kamrani (1999:354), nilai yang berharga itu dapat dinisbahkan pada Tuhan dan kepada manusia. Nilai yang dinisbatkan kepada Tuhan disebut nilai ilahiah dan yang dinisbatkan kepada manusia disebut nilai kemanusiaan. Islam sebagai sebuah agama mengandung nilai ilahiah, akan tetapi karena Tuhan menurunkan agama dan seluruh ajaran yang dikandungnya bertujuan untuk kesejahteraan mansuaia , maka agama tetap bersifat kemanusiaan. Selanjutnya menurut Kamrani (1999: 363) karena ajaran Islam bukan semata-mata aspek teologis tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan, maka nilai-nilai kemanusiaan seperti nilai pengetahuan, sosial, ekonomi, politik, etika dan kesehatan dicakup oleh nilai ilahiah, meskipun dilihat dari proses lahirnya sebagian bersifat ijtihadi/hasil pemikiran manusia. Namun menurut beliau dengan mengutip Noeng Muhadjir nilai-nilai kemanusiaan berada di bawah nilai ilahiah, dan nilai keagamaan mempunyai konsekuensi kepada nilai lainnya, dan sebaliknya nilai-nilai lainnya memerlukan konsultasi pada nilai religius. Berkaitan dengan jenis pengetahuan ini, sebagaimana juga telah dikemukakan pada bab pendahuluan, Islam tidak memandangnya sebagai dua bidang yang terpisah, karena keduanya berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah SWT. Pengetahuan dalam bentuk imtaq adalah pengetahuan yang bersumber langsung dari Allah SWT dalam bentuk wahyu tertulis (al-wahyu al-matlu) yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SWA sebagai Rasul-Nya. Sedangkan pengetahuan dalam bentuk sainstek, pada dasarnya juga berasal dari Allah SWT, yang didapat manusia melalui alam, akal/nalar manusia yang diciptakan oleh Allah SWT (al-wahyu ghairu matlu). Berangkat dari konsep imtaq di atas, maka dalam konteks praktek pendidikan Islam, telah terdapat dua jenis pengetahuan yang diberikan, yakni ilmu pengetahuan yang langsung berasal dari Allah SWT yang disebut pengetahuan imtaq atau Pendidikan Agama Islam dan pengetahuan yang berasal dari akal/nalar manusia dan alam yang disebut ilmu pengetahun dan teknologi atau yang disebut juga mata pelajaran umum. Dalam konteks kurikulum dan pembelajaran secara formal di madrasah, sainstek diwakili oleh mata pelajaran umum seperti: Biologi, Fisika, dan Kimia, ekonomi dan lain-lain. Sedangkan imtaq diwakili oleh mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, yakni: Aqidah-akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Selain terdapat pada mata-mata pelajaran tersebut, sesungguhnya materi sainstek dan imtaq dapat juga terdapat di luar kurikulum formal, misalnya materi sainstek yang dapat diakses dari guru dan sumber-sumber lain, seperti buku-buku, majalah, dan sumber lainnya. Begitu juga materri imtaq dapat juga terdapat dalam kurikulum suplimen masing-masing mata pelajaran sainstek, seperti yang terdapat pada kurikulum suplemen untuk mata pelajaran umum di SMA berupa ayat-ayat al-Qur`an dan Hadits. Bentuk lainnya materi imtaq terdapat juga pada sumber-sumber lainnya, seperti guru, buku-buku teks, dan materi imtaq yang diakses dari guru Pendidikan Agama Islam. D. Pengertian dan Konsep Integrasi Sainstek dengan Imtaq Istilah pemaduan materi sainstek dengan imtak (sains) dapat dianalogikan dengan istilah “integration sciences”. Dalam “The International Encyclopedia of Education” (1985) istilah “integration sciences” didefinisikan sebagai: 1)that all science is seen as a unity of knowledge with universal laws, common conceptual structures and enquiry processes ini which the unifying elements are stronger than the differences between distinct scientific disciplines; or 2)that for teaching purposes the various disciplines of science are taught in an integrated way. Definisi pertama di atas menunjukkan adanya integrasi sains dalam hal struktur konsep sains dan proses pencariannya. Sedangkan kedua menunjukkan pada upaya guru untuk mengarahkan pada penyatuan sains dalam proses pendidikan (pembelajaran) sains. Dalam pendidikan keagamaan (khususnya Islam) sering dihadapkan pada upaya pemaduan antara sains (ilmu pengetahuan umum) dengan agama (ilmu pengetahuan keagamaan). Zeilder (1984) sebagaimana dikutif oleh Sockett (Jackson 1992: 557) menyatakan bahwa “scientific literacy demands an interdisciplinary curriculum”, yang menurut Sockett sendiri kurikulum tersebut “… must include ethical components for the analysis of policy issues with which science is irredeemably connected”. Perlunya menghubungkan antara sains dengan ethika/moral tersebut, khususnya dalam proses pendidikan, yang menurut Marten (1986) disebabkan “moral education and and science education are mutually relevant, both developing virtues and propositional knowledge as moral decision making is developed with science without indroctination”. Dalam konteks pembelajaran, Rhees (1999) mengemukakan: “learning about culture without understanding the religion that inspirited it is like learning maths and science formulae without understanding how they were divined”. Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas, jelas bahwa antara sainstek dan imtaq saling membutuhkan dan dengan demikian dapat dan seyogianya dipadukan. Sesungguhnya dasar utama konsep keterpaduan sainstek dan imtaq dalam ajaran Islam, utamanya telah ditunjukan dalam al-qur`an, yakni pernyataan akan sifat pengetahuan yang holistik atau utuh. Dalam konteks ini berarti, persoalan efistemologis harus selalu dikaitkan dengan etika dan spiritualitas. Ruang lingkup persoalan efistemologisnya meluas, baik, dari wilayah bidang-bidang keagamaan maupun wilayah sekuler, karena pandangan dunia Islam tidak mengakui adanya pembedaan mendasar antara wilayah-wilayah ini dalam kehidupan nyata (Nor Wan daud, W.M, 1997:71). Konsep keutuhan atau keterpaduan pengetahuan dalam Islam tersebut disebut pandangan dunia Islam, yaitu tauhid atau monteistik yang berimplikasi pada konsep monistik dalam ilmu pengetahuan. Menurut Islam, khususnya dalam al-Qur`an, bahwa pengetahuan manusia semuanya bersumber dari Tuhan. Gagasan bahwa Allah-lah satu-satunya yang mengajarkan manusia, antara lain digambarkan dalam al-Qur`an pada Surah Al-Baqarah (2) ayat 31 dan 239, Surah Al-Rahman (55) ayat 1-4; dan Surah al-Àlaq (96) ayat 4-5. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkan-lah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), Maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. 1. (Tuhan) yang Maha pemurah; 2. Yang Telah mengajarkan Al Quran; 3. Dia menciptakan manusia; 4. Mengajarnya pandai berbicara. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam; Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Semua firman Allah dalam al-Qu’an di atas pada intinya menyatakan bahwa Allah lah yang telah memberikan dan mengajarkan segala sesuatu kepada manusia dan Dia-lah sumber segala pengetahuan yang didapat manusia. Apa yang didapat manusia atau semua bentuk ilmu pengetahuan yang diciptakan dan didapat manusia pada dasarnya bersumber dari Allah dan atas pemberian Allah. Berdasarkan konsep dasar Islam tentang pengetahuan di atas, maka dalam konteks praktek pendidikan Islam, meskipun diakui ada dua jenis ilmu. Pertama, ilmu yang “taken for granted” dari Allah dan diajarkan langsung melalui firman-Nya, yang sering disebut dengan ilmu syar’ìyah. Kedua, ilmu yang merupakan hasil temuan, pemikiran/kajian dan rekayasa manusia atas alam atau hasil ijtihad, Al Ghazali menyebutnya dengan istilah “al ‘ilm ghair al-syar’yyah”. Meskipun ada dua jenis ilmu tersebut, namun keduanya pada hakekatnya sama-sama merupakan bagian dari ilmu Islam yang berasal dari Allah. Dalam pandangan Islam, Ilmu yang pertama tidak diragukan kebenaran dan pemakaiannya, karena merupakan firman Allah yang langsung dari Allah. Sedangkan ilmu yang kedua, karena prosesnya merupakan produk ijtihad atau usaha manusia, maka harus diuji dan diverifikasi kebenarannya berdasarkan konsep dan nilai Islam. Perlunya pengujian dan verifikasi atas ilmu pengetahuan yang kedua ini, karena produk manusia bias salah dan mempunyai keterbatasan. Dalam pandangan lain, menurut Sardar (2000) sebagai ilmuan Islam dan juga Kuhn (1979) sebagai ilmuan Barat, bahwa ilmu pengetahuan (produk manusia) sesungguhnya tidak bebas nilai, ia amat ditentukan oleh paradigma sipenemu atau pengembang ilmu tersebut (Kuhn, 1970; Sardar, 2000) Sehubungan dengan itu maka perlu ada upaya integrasi atau verifikasi atas ilmu produk manusia tersebut. Dalam konteks ini, menurut Sardar (1988: 172-182), setidaknya selama ini ada tiga pola yang telah dilakukan oleh umat muslim. Pertama, pemaduan dengan cara melegitimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari ayat-ayat al-Qur`an yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut. Kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral serta bebas nilai. Kedua, pemaduan dengan cara bekerja dengan sains modern sambil berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak Islami dan dilakukan islamisasi. Dengan demikian, ketika sains modern berada dalam masyarakat yang Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan dan cita-cita Islam. Ketiga, pemaduan dengan cara berusaha membangun sains islam yang benar-benar Islami (sains Islami) yang berangkat dari paradigma sains Islam (Sardar , 1988: 172-182). Secra konsepsional upaya ketiga kelompok tersebut dapat dilihat sebagai berikut: 1. Cara Apologetik Menurut Sardar (1988), model pemaduan apologetik ini dimotori, antara lain oleh Mauice Bucaille dan murtid-muridnya. Di antara buku-bukunya yang banyak membahas tentang upaya pemaduan atau paling tidak kompromi antara sainstek dan imtaq adalah “La Beble Le Coran et La Science” dan “What is Origin of Man”. Konsep pemaduan sainstek dan imtaq dalam model ini didasari oleh pandangan bahwa ilmu pengetahuan (sains) adalah merupakan produk yang bersifat universal dan bebas nilai (value free). Oleh karena itu ia dapat dipakai dan berlaku di mana saja dan di lingkungan apa saja. Dalam kaitan pemaduan sainstek dan imtaq itu, mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari ayat-ayat al-Qur`an yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut, yang menurut mereka telah ada di dalam ajaran Islam (al-qur`an). Adapun konsep dan teori sains tidak perlu diganggugugat, karena tidak bertentangan dengan al-qur`an. Dalam konteks ini, fungsi al-qur`an hanya sebagai pembenaran dan pemberi legitimasi atas konsep dan teori-teori sains, atau sekedar menunjukkan bahwa al-qur`an telah membicarakan konsep dan teori tersebut. 2. Cara Islamisasi Ilmu Pengetahuan Berbeda dengan model apologetik, model islamisasi ilmu pengetahuan ini tidak menerima begitu saja konsep-konsep dan teori-teori yang diproduk oleh pengetahuan, tetapi harus dimodifikasi sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Menurut Sardar (1988) model ini dimotori oleh para pakar Islam, antara lain: Syed Hossein Nasr, Ismail Raji al-Faruqi, dan Fazlur Rahman. Model islamisasi ilmu pengetahuan ini didasari oleh suatu pandangan, sebagaimana dikemukakan oleh Siyyed Hussen Nasr dalam Islamic Science: An Illustrated Study (19976: 9) bahwa: Ilmu Islam muncul dari perkawinan antara semangat yang terbit dari Wahyu Qur`ani dengan ilmu-ilmu yang ada dari berbagai beradaban, yang diwarisi Islam yang telah diubah-bentuk melalui kekuatan rohaniahnya menjadi substansi baru; yang berada sekaligus melanjutkan apa yang telah ada sebelumnya. Sementera itu, al-Faruqi (Sardar (2000:44-45) mengemukakan dasar konkretnya sebagai berikut, bahwa: sistem dualisme harus dihilangkan. Bifurikasi (pecabang-duan), yakni adanya sistem Islam dan sistem Sekuler, harus dilihilangkan dan dihapuskan. Kedua sistem itu harus digabungkan dan diintegrasikan, sementara sistem yang akan muncul harus diberi roh spirit Islam dan berfungsi sebagai bagian integral dari program ideologisnya. Al-Faruqi tidak menginginkan apa pun kecuali: “mempertimbangkan kembali seluruh khazanah ilmu pengetahuan manusaia dari titik pijak Islam”. Dalam konteks pembelajaran sains pada lembaga pendidikan Islam, khususnya dalam rangka integrasi sainstek dan imtak, Fazlur Rahman (1982: 130-131), menyarankan perlu dilakukan dengan cara: Pertama, dengan menerima ilmu pengetahuan (sains) yang sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umum di Barat dan mencoba untuk “mengislamkannya” dengan cara mengisinya dengan konsep-konsep tertentu dari Islam. Kedua, dengan cara menggabungkan atau memadukan ilmu pengetahuan modern dengan ilmu pengetahuan keisalaman yang diberikan secara bersama-sama di suatu lembaga pendidikan Islam. Dalam konteks islamisasi ini, Muhadjir (1997:43) menegaskan sebagai berikut: …bahwa islamisasi pengetahuan bukan berarti kita perlu membongkar semua disiplin ilmu dan membangun dari awal disiplin-disiplin ilmu baru, melainkan semua disiplin ilmu secara strategik dioreintasikan kepada nilai moral Islam. Kata strategik tersebut bermakna bahwa cara reorientasi untuk beragam disiplin ilmu berbedabeda. Khusus menyangkut persoalan integrasi sainstek dan imtaq di madrasah, Azyumardi Azra (1999:41), menyarankan perlunya upaya peninjauan terhadap ilmu-ilmu empiris (umum) yang diajarkan di madrasah dari segi epistemologis dan aksiologis, yakni ilmu-ilmu umum yang berdasarkan epistemologi Islam, yang tidak lain adalah merupakan upaya islamisasi ilmu pengetahuan. Dalam konteks pembelajaran sains pada lembaga pendidikan Islam, khususnya dalam rangka integrasi sainstek dan imtak, Fazlur Rahman (1982: 130-131), menyarankan perlu dilakukan dengan cara: Pertama, dengan menerima ilmu pengetahuan (sains) yang sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umum di Barat dan mencoba untuk “mengislamkannya” dengan cara mengisinya dengan konsep-konsep tertentu dari Islam. Kedua, dengan cara menggabungkan atau memadukan ilmu pengetahuan modern dengan ilmu pengetahuan keisalaman yang diberikan secara bersama-sama di suatu lembaga pendidikan Islam. Secara konkret al-Faruqi menawarkan metodologi dan program aksi untuk melakukan islamisasi tersebut sebagai berikut: a.Mengusai disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern b.Mengusai khazanah Islam c.Menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern d.Mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern e.Mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola-rancangan Allah. 3. Cara Pembentukan Sains Islami Model sains islami ini utamanya dimotori oleh Zainuddin Sardar bersama koleganya seperti Parvez Manzoor, Gulzar Haider, dan Munawar Ahmad Anees (Sardar 2000). Sardar bersama kelompoknya amat yakin adanya sains Islam dan berusaha membangunnya untuk melahirkan sains yang benar-benar Islami (sains Islami) yang berangkat dari paradigma sains Islam. Mereka sangat tidak percaya dan tidak dapat menerima model islamisasi sains, karena menurut mereka sains modern adalah produk Barat yang memiliki paradigma dan misi sendiri, sementara ilmu pengetahuan Islam juga memiliki paradigmanya sendiri yang tidak sama dengan paradigma Barat. Oleh karena itu bagaimana mungkin keduanya dapat disatukan. “Sains Islami” menurut Sardar (1988:182), adalah sains yang dibangun berdasarkan paradigma efistemologi sains Islam, yakni sains yang dibangun atas dasar paradigma “keragaman” (cara mengetahui) dan “kesalingkaitan”. Ciri “kera-gaman” menekankan pada totalitas pengalaman dan kenyataan serta tidak menganjurkan hanya satu jalan untuk mempelajari alam. Ilmu bisa diperoleh baik dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis. Semua itu harus tunduk pada nilai-nilai wahyu Qur`an yang abadi. Ciri “kesalingkaitan” menekankan pada pandangan bahwa semua bentuk ilmu penetahuan adalah saling berkaitan, dan secara organis berhubungan dengan spirit wahyu Qur`an. Islam tidak hanya mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan, tetapi juga selalu menghubungkannya dengan gagasan Islam yang unik mengenai ibadah. Ilmu pengetahuan harus dicari dalam rangka pengabdian kepada Allah dan untuk mencari ridha-Nya. Lebih jauh, ilmu juga berkaitan dengan setiap nilai Qur`an seperti khilafah, `adl (keadilan ) dan istishlah (kepentingan). Kesaling-kaitan antara ilmu dengan khilafah adalah untuk mengubah alam menjadi ajang yang sakral. Manusia sebagai pemegang amanah Allah tidak boleh memajukan ilmu pengetahuan dengan mengorbankan alam, sebaliknya harus sebagai penjaga alam. Kesaling-kaitan antara ilmu dengan konsep `adl dan istishlah memberikan pedoman bahwa ilmu pengetahuan harus dikem-bangkan untuk memajukan prinsip-prinsip persamaan, keadilan sosial dan nilai-nilai lain yang didukung oleh masayarakat dan kebudayaan muslim. Paradigma yang dikemukakan oleh Sardar di atas sejalan dengan apa yang telah disepakati oleh sarjana-sarjana muslim dan Barat dalam seminar “Islam and the West” tentang realisasi sain Islam, yakni harus didasarkan pada kerangka nilai yang merupakan karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan Islam. Ada sepuluh nilai yang diiedentifikasi dalam seminar itu, yakni: Tauhid, Khilafah, Ibadah, `Ilm, Halal dan Haram, `Adl (keadilan sosial), Zulm (tirani), Istishlah kepenting-an umum), dan Dhiya (pemborosan) (Sardar, 2000). Konsep di atas ditafsirkan oleh Sardar (2000) sebagai berikut: (1)Konsep Tauhid yang dimaknai sebagai “Keesaan Tuhan” pada dasarnya merupakan sebuah nilai yang berlaku secara umum, yang selanjutnya berarti pula kesatuan umat manusia, kesatuan antara manusia dan alam, kesatuan antara ilmu pengetahuan daan nilai. Ia merupakan esensi pemi-kiran dan prilaku sosial Islam. (2)Konsep Khilafah menunjuk pada pandangan bahwa manusia tidaklah independen dari Tuhan, tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan, baik untuk kegiatan ilmiah maupun teknonologisnya. Dengan demikian ilmuan dalam segala bentuk rekayasa alamnya tidak memiliki hak eksklusif, tetapi harus bertanggung jawab kepada Tuhan. (3)Konsep ‘ibadah (pengabdian kepada Tuhan) menunjukkan bahwa pen-carian ilmu pengetahuan adalah salah satu bentuk pengabdian yang terbesar. Pencarian ilmu yang bernuansa ibadah tersebut adalah ilmu yang mempertahankan etika dan moralitas serta diperlukan untuk kelangsungan hidup masyarakat secara keseluruhan. Tidak ada gagasan “sains untuk sains” atau sains untuk kepentingan prib (4)Konsep mengenai ilmu pengetahuan (`ilm) dalam Islam pada umumnya dibagi dua kategori, yakni: Ilmu yang diwahyukan, yang menyediakan kerangka eteka dan moral, dan ilmu yang tidak diwahyukan, yang penca-riannya menjadi kewajiban kaum muslimin di bawah petunjuk ibadah. (5)Konsep halal adalah sesuatu yang menentukan keresponsifan sosial dan sifat non utilitarian sains. Halal adalah semua yang bermanfaat untuk seorang individu, masyarakat dan lingkungannya. (6)Konsep haram juga sesuatu yang menentukan keresponsifan sosial dan sifat non utilitarian sains. Konsep haram mencakup semua yang destruktif bagi manusia sebagai individu, baik dalam lingkungan yang dekat maupun luas. (7)Konsep ‘adl (keadilan sosial) menunjukkan bahwa produk ilmu pengeta-huan harus dapat mendatangkan keadilan yang sebesar-besarnya bagi umat manusia. (8)Konsep Zulm (tirani) menghendaki bahwa proses dan produk ilmu penge-tahuan tidak menyebabkan alienasi dan dehumanisasi, konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang, pengangguran dan kerusakan ling-kungan. (9)Konsep dhiya (boros) menghendaki ilmu pengetahuan tidak memboroskan sumber daya manusia, sumber daya lingkungan dan sumber daya spiritual. (10)Konsep istishlah (kepentingan umum) menghendaki sains dan teknologi yang distributif, sains untuk masyarakat. Berdasarkan kesimpulan Sardar dan konsep yang dikemukakan oleh para penggagas cara pengintegrasian sains atau materi pelajaran umum dengan imtaq di atas, dapat disimpulkan, bahwa pema-duan sainstek dan imtaq dalam pendidikan formal dapat dilakukan dengan tiga cara: Pertama, melalui pencarian dasar dan padanan konsep, teori pengetahuan yang dicari dari al-Qur`an dan Hadis Nabi. Dalam hal ini konsep dan teori sainstek tidak diganggu-gugat kecuali hanya diberi atau diisi dengan nilai-nilai Islami atau sekedar dicarikan padanan konsepnya serta diberikan landasan dasarnya sebagai upaya ligetimasi kebenaran konsep sains. Kedua, dengan cara mengambil atau mempelajari konsep dan teori sainstek dan mengkaji konsep dan nilai-nilai imtaq, kemudian memadukannya sehingga akan dapat dihasilkan sainstek yang islami. Cara inilah yang disebut islamisasi sains (sainstek). Jelasnya cara ini pada dasarnya dilakukan untuk mengkaji ulang konsep dan teori sainstek yang telah ada dengan cara: a) mengakses materi imtaq untuk memberi nilai-nilai Islami bagi konsep/teori sainstek; b) mengakses materi imtaq untuk memberikan arah penggunaan sainstek; c) menghubungkan teori dan konsep sainstek yang bersamaan dengan imtak untuk saling memperkuat; d) mempertemukan teori dan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan imtaq guna menemukan solusinya. Ketiga, dengan cara menemukan dan membangun sainstek yang islami. Dalam hal ini integrasi sainstek dan imtaq dibangun bersamaan melalui pengem-bangan sainstek yang berlandaskan paradigma sainstek islami. Sainstek produk yang tidak berlandaskan paradigma sainstek islami (paradigma lain) tidak dapat diterima. Hal ini bisa ditempuh dengan model pembentukan sains islami sebagai-mana yang dikemukakan oleh Sardar di atas, yakni sains yang dibangun atas dasar paradigma “keragaman” (cara mengetahui) dan “kesalingkaitan”. Ciri “keragaman” mene-kankan pada totalitas pengalaman dan kenyataan serta tidak mengan-jurkan hanya satu jalan untuk mempelajari alam. Ilmu bisa diperoleh baik dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis. Semua itu harus tunduk pada nilai-nilai wahyu Qur`an yang abadi. Ciri “kesalingkaitan” menekankan pada pandangan bahwa semua bentuk ilmu penetahuan adalah saling berkaitan, dan secara organis berhubungan dengan spirit wahyu Qur`an. Islam tidak hanya mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan, tetapi juga selalu menghu-bungkannya dengan gagasan Islam yang unik mengenai ibadah. Ilmu pengeta-huan harus dicari dalam rangka pengabdian kepada Allah dan untuk mencari ridha-Nya. Lebih jauh, ilmu juga berkaitan dengan setiap nilai Qur`an seperti khilafah, `adl (keadilan ) dan istishlah (kepentingan). Kesaling-kaitan antara ilmu dengan khilafah adalah untuk mengubah alam menjadi ajang yang sakral. Manusia sebagai pemegang amanah Allah tidak boleh mema-jukan ilmu pengeta-huan dengan mengorbankan alam, sebaliknya harus sebagai penjaga alam. Kesaling-kaitan antara ilmu dengan konsep `adl dan istishlah memberikan pedoman bahwa ilmu pengetahuan harus dikem-bangkan untuk memajukan prinsip-prinsip persamaan, keadilan sosial dan nilai-nilai lain yang didukung oleh masayarakat dan kebudayaan muslim. Berdasarkan berbagai pengertian dan konsep kurikulum terpadu dan pengertian dan konsep pemaduan materi pelajaran umum dengan imtaq dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan model kurikulum yang memadukan materi pelajaran umum dengan imtaq adalah suatu model kurikulum yang bersikan program yang didesain, direncanakan, dikembangkan, dan akan dilaksanakan dalam bentuk pemaduan mata/materi pelajaran sainstek (umum) dengan mata/materi pelajaran imtaq (agama). Pemaduan tersebut baik dalam bentuk: (a) memberikan dasar-dasar islami bagi sainstek; (b) memberi arah penggunaan sainstek secara islami; (c) memberikan penguatan dan perluasan teori dan konsep sainstek dengan konsep dan nilai-nilai imtaq; dan (d) penyelesaian atas teori dan konsep sainstek yang kontropersial dalam pandangan Islam. Sedangkan rekonstruksi axiologis adalah dalam bentuk memberikan atau memasukkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang merupakan karakteristik dasar kebudayaan Islam, yakni sebagaimana kesepakatan sarjana Muslim dan Barat tentang sainstek islami, yang meliputi: Tauhid, Khilafah, Ibadah, `Ilm, Halal dan Haram, `Adl (keadilan sosial), Zulm (tirani), Istishlah kepentingan umum), dan Dhiya (pemborosan) (Sardar, 2000). Dalam hal ini, konsep imtaq dapat berupa nilai atau norma. Sebagaimana Hasan (1996:114-115) nilai adalah sesuatu yang menjadi kriteria apakah suatu tindakan, pendapat, atau hasil kerja itu bagus/positif atau tidak bagus/negatif. Sedangkan moral adalah kriteria yang menjadi dasar untuk menentukan apakah tindakan, pendapat, atau suatu hasil kerja itu baik, atau tidak baik, boleh dilakukan atau tidak, dianggap merusak atau tidak. Berbeda dengan nilai, moral adalah sesuatu yang diikuti dengan sanksi. Dalam konteks ini, yang menjadi nilai dan moral tentu adalah nilai dan moral Islam, di antaranya seperti disebutkan di atas. Jika konsep islamisasi sains di atas dihubungkan dengan konsep dan model pengembangan kurikulum terpadu yang pernah dan sudah dikembangkan oleh Fogarty. Menurutnya dalam pengembangan kurikulum terpadu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu: 1) dimensi vertical, yakni bahwa kurikulum yang ditempuh anak sejak taman kanak hingga kelas 12 adalah merupakan suatu yang berkesinambungan dan harus saling terkait. Untuk itu, pemaduan kurikulum dapat dilakukan dalam bentuk pemaduan antara konsep satu tingkat dengan tingkat lainnya; 2) dimensi horisontal, yakni bahwa setiap mata pelajaran atau disiplin ilmu memiliki keluasan dan kedalam masing-masing. Untuk itu, pemaduan kurikulum dapat dilakukan dalam bentuk dalam satu bidang studi (within single disciplines); 3) dimensi lingkaran (circle), yakni bahwa setiap disiplin atau mata pelajaran memiliki tema, topik, konsep, skill yang sama atau berkaitan. Untuk itu, pemaduan kurikulum dapat dikembangkan dalam bentuk lintas disiplin atau antar disiplin. Berdasarkan asumsi itu, menurut Fogarty (1991: xiv) bentuk kurikulum terpadu dapat dalam bentuk: 1) keterpaduan dalam satu disiplin ilmu (within single disciplines), yang meliputi Fragmented, Connected, dan nested; 2) keterpaduan lintas bidang studi (across several disciplines), yang meliputi: sequenced, shared, webbed, threated, dan integrated; 3) keterpaduan dalam dan lintas siswa (within and across leaners), yang meliputi: immersed dan networked. Berdasarkan model-model pemaduan kurikulum yang dikemukakan oleh Fogarty di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pemaduan sainstek dengan imtaq juga dapat dikembangkan dalam bentuk model-model tersebut. Sejalan dengan konsep dan pola pemaduan di atas serta apa yang menjadi fokus dan lingkup penelitian disertasi ini, maka upaya untuk mengembangkan konsep dan desain kurikulum mata pelajaran sainstek menjadi sebuah model kurikulum yang memadukan sainstek dengan imtaq melalui proses pengembangan model kurikulum yang memadukan sainstek dengan imtaq dapat dilakukan dengan pendekatan islamisaasi sains. Desain atau konsep kurikulum mata pelajaran sainstek yang dipakai pada sekolah/madrasah saat ini dicoba ditinjau ulang dengan menggunakan paradigma islamisasi sains, yakni dengan menanami dengan prinsip-prinsip sains Islami. Dari hasil peninjauan ulang tersebut akan dilahirkan ide-ide atau konsepsi-konsepsi baru dalam bentuk ide atau konsepsi kurikulum yang memadukan sainstek dengan imtaq. Selanjutnya dengan menggunakan paradigma islamisasi sains ide atau konsepsi kurikulum yang memadukan sainstek dengan imtaq tersebut dikem-bangkan menjadi sebuah rencana atau dokumen kurikulum yang memadukan sainstek dengan imtaq. Seterusnya dengan pendekatan yang sama, dikembangkan model implementasi kurikulum dan model evaluasi hasil yang diharapkan. Dengan model kurikulum tersebut diharapkan dapat melahirkan siswa yang memiliki pengetahuan sainstek yang terintegrasi dengan imtaq atau sainstek yang islami. Model tersebut juga pada giliranya diharapkan akan dapat menjadi sebuah model kurikulum yang memadukan sainstek dengan imtaq yang dapat dan siap untuk diterapkan di sekolah/madrasah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar