PENGERTIAN
DAN KONSEP KURIKULUM TERINTEGRASI SAINSTEK DENGAN IMTAQ
A.
Pengertian Kurikulum
1.Pengertian Etemeologis (Bahasa)
Secara etemologis (bahasa), istilah “curriculum” dinyatakan sebagai istilah
yang berasal dari bahasa Latin, yakni curro atau currere dan ula atau ulums
yang diartikan sebagai “racecorse”, yakni lapangan pacuan kuda, jarak tempuh
untuk lomba lari, perlombaan, pacuan balapan, peredaran, gerak berkeliling,
lapangan perlombaan, gelanggang, kereta balap, dan lain-lain” (Prent, 1969:211;
Webster, 1989:340).
Istilah curro atau currere dan ula atau ulums yang diartikan sebagai
“racecorse” tersebut kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan dengan istilah
“curriculum” (bahasa Inggeris) atau “kurikulum” (bahasa Indonesia). Hal itu
sebagaimana dinyatakan oleh Brobacher, sebagai berikut:
“according to its Latin origin a curriculum is a “runway”, a course which one
runs to reach a goal, as in a race. This figure of a course has been carried
over into educational parlance, where it is sometimes called a curriculum,
sometimes a course of study (Brobacher, 1962: 237).
Dalam kutipan ini Brobacher menyatakan bahwa istilah kurikulum yang dalam
bahasa Latin diartikan sebagai lapangan pacu (runway) yang berarti sebagai
sebuah lapangan tempat berlari untuk mencapai sasaran (goal). Dari istilah
tersebut dibawa ke dalam dunia pendidikan yang kadangkala dimaksudkan sebagai
sebuah kurikulum dan kadangkala dimaksudkan sebagai sebuah mata/materi
pelajaran yang dipelajari.
Pemakaian istilah yang semula dipakai dalam dunia olah taga tersebut sepertinya
didasarkan pada persesuaian makna atau hakikat yang dikandung oleh istilah
tersebut, yakni adanya jarak atau proses yang harus ditempuh untuk mencapai
tujuan. Hal itu secara tegas sebagaimana dinyatakan oleh Schubert (1986:33):
“its interpretation from the race course etymology of curriculum, currere
refers to the running of the race and emphasizes the individuals own capacity
to reconceptualize his or her autobiography”. Pemakaian istilah kurikulum atas
dasar persesuaian makna tersebut juga dipakai dalam bahasa Arab. Hal itu bias
dilihat bahwa dalam bahasa Arab istilah kurikulum disebut “minhaj” yang berarti
“jalan yang terang”; cara, metode, bagan, rencana. Dari istilah itu dikenal
istilah “minhaj al ta`lim” yang berarti “rencana pengajaran atau kurikulum”
(Munawwir, 1984: 1567).
2.Pengertian Termenologis (istilah)
Berdasarkan pengertian bahasa di atas, dimana istilah kurikulum (curriculum,
ing.) atau (minhaj, Arab) dimaksudkan sebagai “sebuah jalan atau proses yang harus
dilalui untuk mencapai tujuan tertentu atau “sejumlah materi/mata pelajaran (a
course of study), maka secara termenologis kurikulum diartikan sebagai
“sejumlah materi/mata pelajaran yang harus dikuasai” (a course of subject
matters to be mastered), (Zais, 1976:7; Giroux, H.A., et.all, 1981:35).
Rumusan pengertian pada masa awal tersebut disebut oleh para pakar kurikulum
sebagai pengertian tradisional atau sempit. Dalam pengertian tradisional dan
sempit tersebut, konsep kurikulum menunjukkan penekanannya pada pengertian
kurikulum sebagai isi pendidikan. Pengertian kurikulum sebagai isi pendidikan
tersebut menurut Giroux, et al. (1981:35) adalah: “the data or information
recorded in guides or textbooks and overlooks many additional element that need
to be provided for in a learning plan”. Dalam hal ini kurikulum merupakan
sesuatu yang berisikan sejumlah data atau informasi yang dipakai sebagai
petunjuk pembelajaran atau dalam bentuk buku teks yang berisikan sejumlah
materi yang diperlukan untuk dicapai dalam sebuah rencana pembelajaran. Senada
dengan itu al-Syaibani (1979) dalam menggambarkan pengertian minhaj sebagai
padanan istilah kurikulum dalam bahasa Arab yakni terbatas pada
pengetahuan-pengatahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk
mata pelajaran-mata pelajaran atau kitab-kitab karya ulama terdahulu, yang
dikaji begitu lama oleh para peserta didik dalam setiap tahapan pendidikannya.
Selanjutnya sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan, konsep kurikulum juga
turut mengalami perkembangan dan pergeseran makna dari isi ke proses
pendidikan. Dalam hal ini kurikulum tidak diartikan sebagai sekedar seperangkat
materi yang harus diberikan atau dikuasai oleh peserta didik tetapi juga
mencakup segala hal yang terjadi atau dilakukan dalam proses yang dilakukan
atau dijalani peserta didik dan guru. Bahkan penekanannya lebih pada proses
ketimbang sebagai isi atau materi. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Doll
(1964:15) bahwa: “The commonly accepted definition of the curriculum has changed
from content of courses of study and list of subjects and courses to all
experiences which are offered to learners under the auspices or direction of
the school”. Dalam definisi Doll di atas penekanan pengertian kurikulum pada
sejumlah pengalaman yang diberikan kepada siswa di bawah tanggaung jawab atau
arahan sekolah (all experiences which are offered to learners under the
auspices or direction of the school). Sejalan dengan pengertian ini Al-Kualy
(1981) menjelaskan pengertian minhaj sebagai padanan istilah kurikulum dalam
bahasa Arab sebagai seperangkat rencana dan media serta cara untuk mengantarkan
lembaga pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Dalam
definisi al-Kualy ini kurikulum mengandung makna sebagai isi dan sekaligus sebagai
proses.
Pergeseran makna kurikulum tersebut bukan saja dari isi ke proses tetapi juga
terdapat pergeseran cakupan atau lingkup makna kurikulum dari yang sempit ke
yang sangat luas. Beberapa definisi kurikulum yang menggambarkan konsep
tersebut, antara lain dikemukakan oleh beberapa pakar kurikulum sebagai
berikut. Stratemeyer (1957:9) mendefinisikan kurikulum sebagai: “the sum total
of the school`s effort to influence learning wither in the classroom, on
playground or on out of school”. Dalam hal ini Stratemeyer memandang kurikulum
sebagai sejumlah usaha sekolah untuk mempengaruhi pembelajaran, baik di dalam
kelas, lapangan bermain, atau di luar sekolah. Lebih jauh menurut Krug
(1956:4), kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh sekolah untuk memberikan
pengalaman belajar siswa, sebagaimana dinyatakannya: “all the means employed by
the school to provide students with opportunities for desirable learning
experience”. Sedangkan Beaucham (1964:4), memandang kurikulum sebagai: “all
activities of children under the jurisdiction of the school” ( seluruh
aktivitas anak di bawah tanggung jawab sekolah).
Berdasarkan berbagai konsep dan pengertian kurikulum di atas, secara
konsepsional menurut Stratemeyer (1957:9) bahwa secara umum konsep kurikulum
yang digunakan dalam praktek pendidikan dapat dikelompokkan dalam tiga konsep,
yaitu sebagai sejumlah mata/meteri pelajaran dan aktivitas kelas, sejumlah
pengalaman kelas yang disponsori oleh sekolah, dan seluruh pengalaman hidup
yang dialami para pelajar, sebagaimana dinyatakannya berikut: “The curriculum
is currently defined in three ways: the courses and class activities in which
children and youth engage; the total range of in-class and out of class
experience sponsored by the school; and the total life experiences of the
learner”.
Meskipun telah terjadi perkembangan dalam konsep kurikulum dari definisi
tradisional ke modern atau dari definisi sempit ke luas, namun konsep kurikulum
tradisional atau sempit tidak berarti telah ditinggalkan sama sekali. Pada hal-hal
tertentu atau pada situasi tertentu masih tetap digunakan. Bahkan secara real
dalam dunia pendidikan, para praktisi pendidikan umumnya masih menggunakan
konsep kurikulum yang sempit atau pengertian tradisional, di samping juga telah
melaksnakan pengertian kurikulum modern. Dalam konteks ini, jika para praktisi
pendidikan seperti: guru, siswa, dan praktisi pendidikan lainnya ditanya
tentang kurikulum, maka mereka pada umumnya memberikan jawaban sebagaimana
digambarkan dalam pengertian sempit atau tradisional di atas, yakni sejumlah
mata pelajaran. Begitu juga, kegiatan belajar yang dilaksanakan dan dihargai
sebagai hasil belajar mayoritas dalam lingkup pemberian sejumlah mata/materi
pelajaran yang dilaksnakan oleh para guru di sekolah, atau lebih khusus lagi,
yang diberikan dalam kegiatan tatap muka di dalam kelas (jam terjadwal).
Berdasarkan kenyataan itu, maka menurut Schubert (1985:26-33) pandangan (image)
terhadap kurikulum hingga kini masih sangat beragam. Ia menyebutkan, ada
delapan pandangan atau pemahaman tentang kurikulum, yakni sebagai berikut:
1)curriculum as content or subject matter (kurikulum sebagai isi atau materi
pelajaran);
2)curriculum as a program of planned avtivity (kurikulum sebagai sebuah program
aktivitas yang direncanakan);
3)curriculum as intended learning outcomes (kurikulum sebagai hasil belajar);
4)curriculum as cultural reproduction (kurikulum sebagai reproduksi budaya);
5)curriculum as experience (kurikulum sebagai sesuatu yang dialami siswa);
6)curriculum as disctrete tasks and conceps (kurikulum sebagai tugas dan
konsep-konsep khusus);
7)curriculum as an agenda for social reconstruction (kurikulum sebagai sebuah
agenda untuk rekonstruksi sosial kemasyarakatan); dan
8)curriculum as “currere” (kurikulum sebagai sesuatu yang harus dijalani oleh
siswa).
Oliva (1991:5-6) dalam bukunya ”Developing the Curriculum” mengemukakan
sejumlah pandangan atau pemahaman tentang kurikulum yang dipakai hingga saat
ini, yaitu:
1)Curriculum is that which is taught in school (kurikulum adalah apa yang
diajarkan di dalam sekolah);
2)Curriculum is a set of subjects (kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran);
3)Curriculum is content (kurikulum adalah isi materi);
4)Curriculum is a program of studies (kurikulum adalah suatu program
studi/kajian);
5)Curriculum is a set of materials (kurikulum adalah sejumlah materi
pelajaran);
6)Curriculum is a sequence of courses (kurikulum adalah suatu urutan materi
pelajaran);
7)Curriculum is a set of performance objectives (kurikulum adalah sejumlah
tujuan yang ingin dicapai);
8)Curriculum is a course of study (kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran
yang dipelajari);
9)Curriculum is everything that goes on within the school, including
extra-class activities, guidance, and interpersonal relationships (kurikulum
adalah segala sesuatu yang dilakukan di dalam sekolah, termasuk aktivitasdi
luar (ekstra) kelas, bimbingan, dan hubungan antar pribadi siswa);
10)Curriculum is that which is taught both inside and outside of school
directed by the school (kurikulum adalah apa yang diajarkan baik di dalam dan
di luar sekolah yang diarahkan oleh sekolah);
11)Curriculum is everything that is planned by school personnel (kurikulum
adala segala sesuatu yang direncanakan oleh sekolah);
12)Curriculum is a series of experiences undergone by learners in school
(kurikulum adalah serangkaian pengalaman yang dilakukan oleh siswa di sekolah);
13)Curriculum is that which an individual learner experiences as a result of
schooling (kurikulum adalah apa yang dialami oleh seorang individu siswa
sebagai hasil dari sekolah).
3.Konsep Kurikulum
Dilihat dari eksistensinya dalam kegiatan pendidikan kurikulum dapat dipandang
dari berbagai konsep. Menurut Nana Syaodih (1988:29), setidaknya konsep
kurikulum dapat dipandang dari tiga bentuk, yakni sebagai suatu sistem, sebagai
bidang studi dan kurikulum sebagai substansi pendidikan.
Sebagai sebuah sistem, kurikulum merupakan bagian atau sub sistem dari kerangka
organisasi sekolah atau sistem sekolah. Kurikulum sebagai suatu sistem
menyangkut penentuan segala kebijaksanaan tentang kurikulum, susunan personalia
dan prosedur pengembangan kurikulum, penerapan, evaluasi dan penyempurnaan-nya.
Fungsi utama kurikulum sebagai sistem ialah menghasilkan kurikulum, baik
sebagai dokumen tertulis maupun aplikasinya dan menjaga agar kurikulum tersebut
tetap dinamis (Nana Syaodih, 1988:29). Sehubungan dengan pandangan ini, para
pakar kurikulum memiliki pandangan yang tidak sama. Maccia (Giroux, 1981:72)
memandang kurikulum bukan sebuah sistem tersendiri, tetapi ia merupakan bagian
dari sistem pembelajaran yang diwujudkan melalui tingkah laku atau aktivitas
guru dalam menentukan isi pembelajaran. Isi tersebut mengandung aturan-aturan
dalam bentuk seperangkat struktur dari seperangkat mata/materi pelajaran
(disciplines). Di pihak lain, Johnson (1967) juga memandang kurikulum bukanlah
sebuah sistem, tetapi hanya merupakan "a structured series of intended
learning outcomes”. Komponen perecanan berupa: isi, aktivitas, dan prosedur
evaluasi dimasukannya sebagai bagian dari komponen sistem pembelajaran (Zais,
1976:9). Tegasnya, Johnson memandang bahwa kurikulum adalah merupakan hasil
(output) dari sistem pengembangan kurikulum dan merupakan bahan masukan (input)
bagi sistem pembelajaran. Oleh karena itu ia bukan merupakan sebuah sistem.
Sebagai sebuah sistem, menurut Mcdonal (1965), kurikulum berisikan: komponen:
“inputs, processes, outputs, and feedbacks”(Giroux, 1981:72).
Jika kurikulum dipandang sebagai suatu sistem, ia dipandang sebagai sub sistem
persekolahan, sistem pendidikan dan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum
mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja sebagaimana menyusun suatu
kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi dan menyempurnakannya. Hasil dari suatu
sistem kurikulum adalah tersusunya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem
kurikulum adalah sebagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis (Nana
Syaodih, 1988:29-30).
Kurikulum sebagai suatu bidang studi dipandang sebagai bidang studi kuriku-lum.
Tujuan dari kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu ten-tang
kurikulum dan sistem kurikulum. Dalam konteks ini tugas bidang studi kuriku-lum
adalah untuk: (1) mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif
dari istilah-istilah teknis, (2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan
yang telah ada dan pengetahuan-pengetahuan baru, (3) melakukan penelitian
inferensial dan predik-tif, (4) mengembangkan sub-sub teori dari kurikulum,
mengembangkan dan melak-sanakan model-model kurikulum (Nana Syaodih, 1988:
29-30).
Kurikulum sebagai substansi dapat dipandang sebagai suatu rencana kegiatan
pembelajaran bagi murid-murid di sekolah atau sebagai suatu perangkat tujuan
yang ingin dicapai (Nana Syaodih: 1988:29). Saylor, Alexander dan Lewis
memberikan pandangan yang senada dengan Hilda Taba, yakni “as a plan for
learning” (Oliva, 1991:6). Hilda Taba menggambarkan kurikulum sebagai sebuah
subsatansi ini sebagai sesuatu yang berisikan sejumlah elemen yang meliputi
tujuan, isi, pola pembelajaran, dan evaluasi, sebagaimana pernyataannya berikut:
All curricula, no matter what their particular design, are composed of certain
element. A curriculum usually contains a statement of aims and of specific
objectives; it indicated some selections and organization of content; it either
implies or manifests certain patterns of learning and teaching, whether because
the objectives demand them or because the content organization requires them.
Finally, it includes a program of evaluation of the outcomes.
Kurikulum sebagai sebuah rencana, menurut Beaucham (1981), bisa dalam bentuk
dukumen tertulis dan bisa pula dalam bentuk rencana yang tidak terulis, baik
yang ada pada benak siswa maupun guru, sebagaimana dikemukakannya, bahwa
kurikulum adalah: “a written document which may contain many ingredents, but
basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in
given school”.
Selajan dengan pengertian ini, dalam Undang-undang RI tentang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Bab I, pasal 1 ayat 19, kurikulum diartikan:
“seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Kurikulum sebagai sebuah rencana tertulis juga dapat dipandang sebagai sebuah
dokumen yang berisi rumusan tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar,
jadwal dan evaluasi. Kurikulum juga dapat dipandang sebagai hasil persetujuan
bersama antara para penyusun kurikulum, pemegang kebijakan pendidikan dengan
masyarakat. Terakhir kurikulum juga dapat dilihat dari lingkup atau tingkat
kuri-kulum seperti: kurikulum tingkat bidang studi, sekolah, lokal, nasional
(Nana Syaodih, 1988: 29-30).
Konsekuensi dari kurikulum sebagai sebuah dokumen yang menjadi rencana
pembelajaran, baik tertulis maupun tidak terulis melahirkan adanya istilah
“ideal curriculum (kurikulum diidealkan) dan real/actual/
functional/operational curriculum (kurikulum yang nyata/dilaksanakan).
Kurikulum ideal adalah kurikulum yang direncanakan secara ideal. Sebagai sebuah
rencana, bisa dalam bentuk tertulis (written dokument) maupun yang tidak
terulis.
Adapun kurikulum aktual adalah kurikulum yang terlaksana atau
diopera-sionalkan. Kurikulum aktual seyogianya sama dengan kurikulum ideal atau
setidaknya mendekati yang ideal, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.
Dalam kenyataannya dapat saja sesuatu yang direncanakan tidak bisa dilaksanakan
atau terlaksana.
Konsep kurikulum yang berlaku di Indonesia termasuk di dalamnya konsep
kurikulum Pendidikan Agama Islam, sebagaimana dikemukakan di atas, lebih
menekankan pada konsep kurikulum sebagai sebuah rencana pembelajaran. Hal itu
dapat dilihat dari definisi kurikulum yang terdapat dalam Undang-undang RI
tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Bab I, pasal 1 ayat 19,
yang berbunyi: “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu”.
Definisi di atas menjadi pedoman bagi konsep kurikulum setiap jenis dan jenjang
lembaga pendidikan di Indonesia. Dengan demikian kurikulum dipandang sebagai
rencana dan pengaturan kegiatan pembelajaran yang berwujud dokument tertulis
dan sekaligus sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Perwujudan
dari kedudukan dan fungsi kurikulum seperti itu, di masing-masing jenis dan
jenjang lembaga pendidikan, telah dilengkapi dengan seperangkat kurikulum.
Lazimnya perangkat kurilum tersebut terdiri dari: pedoman umum penyelenggaraan
pembelajaran; isi dan program pembelajaran; dan berbagai pedoman implementasi
atau proses pembelajaran, evaluasi, administrasi, dan poedoman bimbingan
pembelajaran.
Menurut Hasan (1988:28) secara konsepsional kurikulum dapat dilihat pada empat
dimensi kurikulum, yakni: 1) kurikulum sebagai suatu ide atau gagasan, 2)
kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, 3) kurikulum sebagai suatu kegiatan
(proses), dan 4) kurikulum sebagai suatu hasil belajar.
1) Kurikulum sebagai suatu ide atau gagasan
Secara etimologis ide (idea) berarti: “A plane of action; an intention’
something imagined or pictured in the mind;; a notion; an opinion; a
fancy…(Webster, 1961:237)” Dalam definisi ini, ide atau gagasan adalah sebagai
sesuatu yang direncanakan yang ada dalam benak atau tergambar dalam pikiran.
Sesuai dengan definisi tersebut, dapat dinyatakan bahwa kurikulum sebagai ide
atau gagasan adalah merupakan sesuatu rencana atau keinginan yang ada dalam
benak atau dalam pikiran dalam bentuk gagasan kurikulum yang bersifat umum.
Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Hasan (1988:28-31), bahwa
kurikulum sebagai sebuah ide atau gagasan ada pada pikiran atau benak para
perancang kurikulum maupun para praktisi, pelaksana, dan pemakai kurikulum. Ia
bias terdapat pada pikiran kepala sekolah, guru, siswa, masyarakat, dan pada
stackeholder pendidikan lainnya.
Idea tau gagasan pada umumnya ada pada saat proses awal perancangan kurikulum,
atau pada ajang pendapat (deliberation), atau yang mendahului rancangan/desain
tertulis kurikulum. Akan tetapi, dalam peraktiknya idea atau gagasan dapat juga
muncul ketika kurikulum tersebut dirancang dan dituangkan dalam program
tertulis, atau pada saat diimplementasikan, atau bahkan pada saat dilakukan
evaluasi (penilaian). Menurut Beaucham (1981) ide atau gagasan tersebut mesti
sebagai sebuah rencana atau gagasan dalam bentuk yang tidak terulis. Oleh
karena itu, kurikulum dalam dimensi idea tau gagasan ini tidak lain adalah
sesuatu yang diharapkan atau diangankan untuk dicapai dan dilaksnakan oleh
guru, sekolah, masyarakat, dan stackeholder lainnya. Karenanya pada umumnya
kurikulum dalam bentuk idea tau gagasan ini bersifat sangat idealis dan
perfeksionis (sangat sempurna), yang kadang tidak sesuai atau susah untuk
dijangkau dalam realitasnya.
2) Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis
Pada dasarnya kurikulum sebagai rencana tertulis ini menurut Hasan (1988:31)
adalah terjemahan dari kurikulum dalam dimensi ide atau gagasan. Dalam kata
lain, kurikulum dalam bentuk tertulis ini merupakan penulisan segenap idea tau
gagasan yang telah digagas. Beaucham (1981), sebagaimana dikemukakan di atas,
menyebutnya sebagai kurikulum dalam bentuk dukumen tertulis. Karenanya ia
sering juga disebut sebagai ideal curriculum (kurikulum yang diharapkan),
sebagai lawan dari kurikulum real curriculum. Akan tetapi, dalam kenyataannya
tidak selalu kurikulum dalam bentuk tertulis ini sama persis dengan kurikulum
dalam dimensi idea tau gagasan. Ketidaksamaan itu bias terjadi karena
keterbatasan dalam penuangan idea tau gagasan tersebut dalam bentuk tertulis
atau karena berbagai kondisi lain, seperti karena dipandang perlu pembatasan
atau dipandang perlu ada pentahapan dalam perencanaan tertulisnya.
Sebagai sebuah dokumen tertulis, kurikulum dalam dimensi rencana harus memenuhi
berbagai kriteria tentang bentuk dan lingkup cakupannya (Hasan, 1988:32).
Banyak model dan cakupan kurikulum sebagai dokumen tertulis ini, namun secara
umum sebagai rencana tertulis pada umumnya, sebagaimana Tyler (1950:1-2), sebuah
dokumen kurikulum minimal bersisi empat komponen yang merupakan empat
pertanyaan dasar yang harus dijawab, yaitu:
(1)What educational purposes should the school seek to attain?
(2)What educational experiences can be provided that are likely to attain these
purposes?
(3)How can these educational experiences be effectively organized?
(4)How can we determine whether these purposes are being attained?
Sedangkan menurut Meller & Siller (1985:175), komponen yang terdapat dalam
dokumen kurikulum meliputi: 1) aims and objectives, 2) content, 3) teaching
strategies/learning experiences, 4) organization of content an teaching
strategies, and 5) evaluation (sometimes included and sometimes separated).
Berdasarkan pendapat Tyler dan Meller & Siller di atas, anatomi sebuah
kurikulum minimal meliputi: tujuan yang harus dicapai, pengamalan pendidikan
atau isi/materi yang dianggap dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai, pedoman
dan strategi pengorganisasian materi (pelaksanaan) sehingga dapat mencapai
tujuan yang diinginkan, dan yang terakhir adalah bagaimana mengevaluasi
pelaksanaan kegiatan dan hasil pencapaian kegiatan tersebut. Keempat komponen
anatomi kurikulum tersebut merupakan suatu sistem atau suatu yang saling
berkaitan antara satu sama lain dan saling mempengaruhi pelaksanaan dan
keterpcapaian masing-masing.
3) Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses)
Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses) ini kadang disebut juga: real
curriculum (kurikulum sesungguhnya), actual curriculum (kurikulum yang nyata),
functional curriculum (kurikulum yang terlaksana), dan operational curriculum
(kurikulum yang dilaksnakan). Dengan mengutif dari Cohen, Deer, Harrison, dan
Josephson, (1982), dan Goodlad (1978) menyebutnya sebagai kuriklum realita atau
sebagai eksperiensial. Istilah realita dipergunakan karena kurikulum dalam
dimensi ini adalah kurikulum yang sesungguhnya tertjaadi di lapangan. Sedangkan
eksperiensial dipergunakan karena kurikulum ini merupakan sesuatu yang dialami
siswa.
Di kalangan pakar kurikulum terjadi perbedaan pendapat mengenai apakah dimensi
ini termasuk kurikulum atau bidang yang berdiri sendiri. Bagi Mcdonal (1965)
kurikulum (curriculum) hanyalah sebagai: a plane for action, that is, a plane
that guides instruction”. Jadi, kurikulum hanya dipandang sebagai sebuah
rencana untuk tindakan pembelajaran, bukan sesuatu yang dialami secara nyata
oleh siswa. Beaucham (1981:7), sebagaimana dikemukakan di atas juga memandang
kurikulum sebagai sebuah dokumen tertulis atau tidak tertulis. Dalam hal ini ia
memandang kurikulum hanya dalam bentuk ide dan rencana tertulis saja. Dalam
kata lain kedua pakar inimemandang proses atau kegiatan pelaksanaan kurikulum
ini tidak disebutnya sebagai kurikulum. Sementara itu, Johnson (1967) memandang
situasi nyata di dalam kelas dipandang sebagai implementasi dari rencana
pembelajaran, bukan rencana kurikulum. Kurikulum hanya dalam bentuk pencapaian
tujuan belajar (Zais, 1976:9). Di pihak lain, Johnson juga memandang bahwa
kurikulum adalah merupakan hasil (output) dari sistem pengembangan kurikulum
dan menjadi bahan masukan (input) bagi sistem pembelajaran. Demikian ia juga
tidak menyatakan proses sebagai sebuah kurikulum.
Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang konsep kurikulum tersebut,
namun dalam prakteknya kurikulum sebagai proses adalah merupakan implementasi
kurikulum. Fullan (1982), dan Leithwood (1982) adalah di antara para pakar
kurikulum yang memandang bahwa implementasi adalah sebagai sebuah kurikulum
dalam dimensi proses. Sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh Fullan
(1982:54) bahwa implementasi adalah: “the process of putting into practice an
idea, program, or set of activities new to the people attempting or expected to
change”. Sementara itu, istilah implementasi kurikulum ini sering pula
disamakan dengan pembelajaran (instruction). Dalam bahasa lain, bahwa sebuah
kurikulum yang ada pad aide atau gagasan yang kemudian dituangkan dalam bentuk
rancangan tertulis kelanjutannya akan diimplementasikan. Dengan demikian
implementasi (proses) adalah merupakan pelaksanaan kurikulum ide dan kurikulum
tertulis.
Meskipun pada dasar atau idealnya kurikulum dalam dimensi proses ini merupakan
implementasi dari apa yang telah digagas dan dituangkan dalam program tertulis,
namun bukan berarti kurikulum dalam dimensi proses ini semata
mengimplementasikan apa yang digagas dan telah diprogramkan secara tertulis,
sebaliknya adakalanya dalam proses ini dapat muncul hal-hal baru, merubah dan
meniadakan apa yang telah digagas dan diprogramkan secara tertulis tersebut,
karena ada situasi dan kondisi yang mengharuskannya untuk dilakukan perubahan.
4) Kurikulum sebagai Hasil belajar.
Kurikulum sebagai suatu produk atau hasil belajar, sebagaimana dikemukakan oleh
Leithwood (1982), pada dasarnya merupakan kelanjutan dan dipengaruhi oleh kurikulum
sebagai kegiatan. Ia juga merupakan dimensi kurikulum yang dipengaruhi secara
langsung oleh kurikulum sebagai ide, terutama ide yang ada pada diri guru.
Dengan demikian ia merupakan dimensi kurikulum tersendiri (Hasan, 1988).
Sebagai dimensi kurikulum tersendiri, ia merupakan dimensi kurikulum yang
banyak dibicarakan orang, sehingga dalam kenyataan sehari-hari orang
mempergunakan produk ini sebagai indikator dan tolok ukur untuk menentukan
keberhasilan pendidikan siswa. Bahkan ia juga digunakan orang untuk menentukan
keberhasilan karier siswa tersebut dimasa pasca pendidikan. Dengan perkataan
lain, kurikulum sebagai dimensi hasil ini sama pentingnya dengan kurikulum
dalam dimensi lain, atau bahkan ada yang menganggap lebih penting dari dimensi
lainnya (Hasan, 1988:36).
Kurikulum sebagai hasil belajar ini juga menjadi perbincangan para pakar dan
praktisi kurikulum, apakah ia merupakan sebuah dimensi sen-diri atau hanya
merupakan bagian dari sistem atau aspek kurikulum. Hasan (1988) mengemukakan
sebagai berikut:
…pada waktu kegiatan evaluasi secara formal dilakukan, evaluasi kurikulum
berhubungan dengan hasil belajar tetapi orang tidak mengaitkan hasil belajar
itu sebagai salah satu dimensi pengertian kurikulum. Meskipun demikian, hasil
evaluasi itu digunakan untuk memperbaiki ataupun mengganti kurikulum dalam
dimensi sebagai rencana. Usaha paling jauh yang dilakukan ialah memasukkan
hasil belajar sebagai salah satu komponen kurikulum sebagai rencana. Artinya,
ia harus dikembangkan tetapi tidak dianggap sebagai kurikulum dalam dimensi
sendiri.
Banyak pakar yang mengaggap hasil belajar hanya merupakan bagian dari aspek
kurikulum sebagai rencana, diantaranya Tyler (1950), Beaucham (1981), Zais
(1976). Sebaliknya tidak sedikit juga yang memandang hasil belajar sebagai
dimensi kurikulum tersendiri. Miller & Seller (1985) adalah salah satu
pakar kurikulum yang menjadikan evaluasi sebagai salah satu dimensi tersendiri
dari kurikulum. Dalam bukunya “Curriculum Perspektif and Practice (1985)”, ia
tidak memasukkan evaluasi sebagai salah satu aspek kurikulum sebagai rencana,
ia membahasnya tersenidiri. Pakar yang lebih tegas memandang kurikulum sebagai
sebuah hasil belajar adalah Johnson (1967). Sebagaimana dikemukakan di atas, ia
memandang kurikulum hanya merupakan "a structured series of intended
learning outcomes” (Zais, 1976:9). Pakar lain, menurut Hasan (1988:35), seperti
McDonal, Popham dan Baker, serta Inlow, juga menganggap kurikulum hanya sebagai
hasil belajar, sedangkan dimensi pengertian lainnya tidak diakui.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa keempat dimensi kurikulum
idealnya merupakan dimensi yang saling berhubungan satu dengan lainnya
Idealnya sebuah kurikulum adalah merupakan sebuah sistem dan rangkaian yang
berkesinambungan antara ide, rencana, proses dan hasil. Dalam hal ini, ide
adalah merupakan dimensi awal yang kemudian dituangkan dalam bentuk kurikulum
rencana tertulis. Rencana tertulis itu kemudian diimplementasikan dalam proses
pembelajaran, yang kemudian dari implementasi tersebut diharapkan menghasilkan
hasil yang sesuai dengan apa yang direncanakan atau digagas. Meskipun demikian,
dalam prakteknya keempat dimensi tersebut tidak selalu sejalan. Dalam hal ini,
sering terjadi ide tidak persis sama dengan apa yang direncanakan secara
tertulis; rencana tertulis tidak persis sama dengan apa yang dilaksnakan
(proses); dan apa yang dilaksanakan tidak persis sama dengan apa yang
dihasilkan. Ketidak sesuaian dan ketidak sejalanan tersebut biasanya disebabkan
kondisi-kondisi dan tuntutan pada setiap tahap dimensi yang berbeda atau muncul
belakangan. Kondisi dan tuntutan ketika ide kurikulum digagas sering tidak sama
dengan ketika kurikulum tersebut dirancang secara tertulis, dan seterusnya.
Meskipun idealnya antara ide dan rancangan tertulis semestinya sama karena
keduanya merupakan ideal/potensial kurikulum, namun sering keduanya tidak bisa
sama persis, karena ketika ide dituangkan dalam sebuah rencana tertulis sering
terdapat hal-hal teknis yang harus disesuaikan. Begitu juga ketika ideal kurikulum
diimplementasikan dalam bentuk actual kurikulum, sering kali terjadi
ketidaksejalanan karena kondisi dan situasi ketika kurikulum ideal
diimplementasikan di lapangan. Selanjutnya hasil yang didapatkan juga sering
tidak sesuai dengan actual kurikulum dan ideal kurikulum, karena hasil juga
dipengaruhi oleh berbagai kondisi internal dan eksternal guru dan siswa itu
sendiri. Tidak jarang pengaruh hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) yang
muncul ketika ide diimplementasikan memberikan pengaruh dominan terhadap hasil
yang dicapai.
Selain beragai pandangan tentang konsep kurikulum di atas, kurikulum juga dapat
dilihat dari tingkat keberadaan kurikulum tersebut. Di Amerika Serikat dikenal
tingkat dan jenis kurikulum mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi,
dimulai dari kurkulum kelas (classroom curriculum), kurikulum sekolah (school
curriculum), kurikulum local (local curriculum), kurikulum regional (regen
curriculum), kurikulum negara bagian (state curriculum), kurikulum bangsa
(nation curriculum), dan kurikulum dunia (worl curriculum). Di Indonesia
dikenal ada empat tingkatan dan jenis kurikulum, yaitu:
(1)Kurikulum Nasional (Negara) yang terdapat dalam Undang-undang Dasar,
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan BGHN. Kurikulum ini merupakan
rencana dan pedoman kegiatan pendidikan secara nasioanal, yang berisikan
tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelaksanaan pendidikan nasional.
(2)Kurikulum Institusional (kurikulum tingkat lembaga pendidikan/satuan
pendidikan) yang ada pada setiap lembaga pendidikan pada jenis dan jenjangnya
masing-masing. Kurikulum ini merupakan rencana dan pedoman kegiatan pendidikan
pada masing-masing lembaga pendidikan yang berisikan tujuan, materi, strategi
dan evaluasi pelasaksaan pendidikan pada lembaga yang bersangkutan.
(3)Kurikulum Mata Pelajaran/Bidang Studi yang ada pada setiap mata
pelajara/bidang studi yang diberikan pada setiap lembaga pendidikan. Kurikulum
ini merupakan rencana dan pedoman kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang
berisikan tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelaksanaan
pendidikan/pembelajaran pada setiap mata pelajaran/bidang studi yang
bersangkutan.
(4)Kurikulum Instruksional/Pembelajaran yang merupakan pengembangan dan
implementasi masing-masing materi pelajaran yang ada pada setiap bidang
studi/mata pelajaran. Kurikulum ini berisikan rencana dan pedoman pelaksanaan
kegiatan pembelajaran yang dikembangkan oleh setiap guru untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan dan penuntasan penyampaian materi pelajaran
yang telah ditetapkan dalam setiap kurikulum mata pelajaran/bidang studi.
Sesungguhnya selain empat jenis dan tingkat kurikulum di atas, sejalan dengan
diterapkannya disentralisasi pendidikan, dikenal juga jenis/tingkat kurikulum
lokal dan regional. Hanya saja kurikulum yang terakhir ini tidak atau kurang
mendapat perhatian dalam praktek pendidikan. Kurikulum lokal adalah suatu
kurikulum yang disusun untuk daerah tertentu, seperti kurikulum untuk
kabupaten/kota atau propinsi atau daerah tertentu yang memiliki ciri khas dan
kebutuhan tersendiri. Kurikulum regional adalah suatu kurikulum yang disusun
untuk beberapa daerah atau sekelompok daerah tertentu yang memiliki cirri khas
dan kebutuhan yang relative sama, seperti kurikulum untuk Regional Kalimantan,
Jawa, Sumatera, dan sebagainya.