Sabtu, 18 Desember 2010

MENGUKUR MUTU SEKOLAH ( I )

By : Admin

Para ahli tidak semua sependapat dengan pengertian mutu dalam arti yang sama. Sebagaimana dikemukakan oleh Juran (1995), mutu didefinisikan sebagai M-Kecil dan M-Besar (Juran, 1995). M-Kecil adalah mutu dalam arti sempit, berkenaan dengan kinerja bagian organisasi, dan tidak dikaitkan dengan kebutuhan semua jenis pelanggan. M-Besar adalah mutu dalam arti luas, berkenaan dengan seluruh kegiatan organisasi yang dikaitkan dengan kebutuhan semua jenis pelanggan. M-Besar inilah yang dimaksudkan dengan mutu terpadu. Crosby (1984) menegaskan bahwa dalam pengertian mutu terkandung makna “kesesuaian dengan kebutuhan.” Tenner dan De Toro (1992:31) mengemukakan bahwa “Quality a basic business strategy that provides and service that completely satisfy both internal and external customers by meeting their explicit expectation.”
Menurut Tampubolon mutu adalah “paduan sifat-sifat produk yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan atau kebutuhan yang tersirat, masa kini dan masa depan” (Tampubolon, Daulat P., 1992). Mutu berkaitan dengan produk yang dapat berupa barang atau jasa. Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan institusi yang menghasilkan jasa pelayanan pendidikan. Selanjutnya Tampubolon mengemukakan dalam “pemahaman umum, mutu dapat berarti mempunyai sifat yang terbaik dan tidak ada lagi yang melebihinya. Mutu tersebut disebut absolute, dan di lain pihak mutu dapat berarti kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang disebut mutu relative.” Mutu absolute juga mengandung arti: (1) sifat terbaik itu tetap atau tahan lama, (2) tidak semua orang dapat memiliki, dan (3) eksklusif. Mutu relative selalu berubah sesuai dengan perubahan pelanggan, dan sifat produk selalu berubah sesuai dengan keinginan masyarakat.
Depdiknas mengemukakan paradigma mutu dalam konteks pendidikan, mencakup input, proses, dan output pendidikan.(Depdiknas, 2001). Lebih jauh dijelaskan bahwa input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses, yang dimaksud sesuatu adalah berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi keberlangsungan proses. Input sumberdaya meliputi sumberdaya manusia (seperti ketua, dosen, konselor, peserta didik) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang bahan-bahan, dan sebagainya). Sedangkan input perangkat meliputi: struktur organisasi, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dan lain sebagainya. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input, makin tinggi kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Proses pendidikan merupakan proses berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.
Berdasarkan pendapat di atas dapat didefinisikan bahwa mutu adalah perpaduan sifat-sifat barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan bahkan melebihi harapan pelanggan, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Mengikuti keberhasilan TQM di dunia bisnis, akhirnya konsep-konsepnya diterapkan pula di bidang pendidikan, khususnya pendidikan di jalur sekolah, setelah melalui proses adaptasi dan modifikasi seperlunya. Sebenarnya banyak sekali aspek yang turut menentukan terhadap mutu pendidikan di sekolah. Edward Sallis mengemukakan bahwa yang menentukan terhadap mutu pendidikan mencakup aspek-aspek berikut: Well-maintained buildings, outstanding teacher, high moral values, excellent examination results, specialization, the support of parents, business and local community, plentiful resources, the application of the latest technology, strong and purposeful leadership, the care and concern for pupils and students, a well-balanced curriculum, or some combination of these factors. (Sallis, Edward, 1993)
Ukuran mutu pendidikan di sekolah mengacu pada derajat keunggulan setiap komponennya, bersifat relatif, dan selalu ada dalam perbandingan. Ukuran sekolah yang baik bukan semata-mata dilihat dari kesempurnaan komponennya dan kekuatan/kelebihan yang dimilikinya, melainkan diukur pula dari kemampuan sekolah tersebut mengantisipasi perubahan, konflik, serta kekurangan atau kelemahan yang ada dalam dirinya.
Menurut PP No. 28/1990 dan dipertegas oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa penilaian keberhasilan pendidikan di sekolah mencakup empat komponen. Komponen pertama yang diukur ialah kegiatan dan kemajuan belajar siswa. Tujuannya terutama untuk: mengetahui bagaimana proses pembelajaran berlangsung, mengetahui proses pembimbingan dan pembinaan kepada siswa, mengukur efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, serta mengukur kemajuan dan perkembangan hasil belajar siswa. Komponen kedua berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum. Tujuannya untuk mengetahui: kesesuaian kurikulum dengan dinamika tuntutan kebutuhan masyarakat, pencapaian kemampuan siswa berdasarkan standar budaya sekolah yang telah ditetapkan, ketersediaan sumber belajar yang relevan dengan tuntutan kurikulum, cakupan materi muatan lokal sesuai dengan kebutuhan daerah setempat, serta kelancaran pelaksanaan kurikulum sekolah secara keseluruhan. Komponen ketiga, guru dan tenaga kependidikan lainnya. Maksudnya untuk mengetahui sampai sejauh mana kemampuan dan kewenangan profesional masing-masing personil (baca: tenaga kependidikan) dapat ditampilkan dalam pekerjaan sehari-hari. Komponen keempat adalah kinerja satuan pendidikan sebagai satu keseluruhan. Penilaiannya mencakup: kelembagaan, kurikulum, siswa, guru dan non guru, sarana/prasarana, administrasi, serta keadaan umum satuan pendidikan tersebut. Penilaian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana mutu pendidikan yang bisa dicapai di sekolah itu, dan bagaimana posisinya jika dibandingkan dengan sekolah lain yang ada di sekitarnya maupun secara nasional. Jadi secara keseluruhan, penilaian pada komponen keempat ini berfungsi sebagai alat kontrol bagi perbaikan dan pengembangan mutu pendidikan selanjutnya.
Mengacu pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 053/U/2001, setiap lembaga penyelenggara pendidikan dituntut untuk senantiasa melaksanakan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Hal ini dijalankan dengan tetap berorientasi pada visi, misi, dan target peningkatan mutu secara berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan oleh para stakeholders.
Penilaian formal terhadap komponen-komponen di atas dilakukan secara berjenjang sesuai dengan batas kewenangan masing-masing penilai, seperti: guru, kepala sekolah, penilik/pengawas, dan aparat struktural maupun fungsional yang terkait.
Hasil penilaian di atas akan menentukan seberapa jauh mutu pendidikan yang bisa dicapai oleh suatu sekolah. Sehubungan dengan hal itu, apabila kita berbicara tentang manajemen mutu pendidikan, maka tidak akan terlepas dari permasalahan tentang manajemen pendidikan itu sendiri.
Manajemen mutu pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mencari perubahan fokus sekolah, dari kelayakan jangka pendek menuju ke arah perbaikan mutu jangka panjang, serta dampaknya terhadap perubahan nilai-nilai budaya sekolah. Edward Sallis berpendapat bahwa “manajemen mutu merupakan lingkaran perbaikan yang berkelanjutan dan sangat menekankan pada improvement and change”,
Selanjutnya, dalam realita yang dialami ternyata implementasi manajemen mutu pendidikan tidak selamanya berjalan mulus dan lancar, seringkali malah muncul berbagai kendala. Deming (dalam Tjutju Yuniarsih, 1997) mengelompokkan faktor penyebab kegagalan mutu pendidikan ke dalam dua kriteria, yaitu: umum dan khusus. Penyebab umum kegagalan pendidikan berkenaan dengan rendahnya desain kurikulum, gedung tidak memadai, lingkungan kerja tidak menunjang, sistem dan prosedur kerja tidak cocok, pengaturan waktu tidak mencukupi, kurangnya sumber, dan pengembangan staff tidak memadai. Sedangkan penyebab khusus kegagalan tersebut muncul karena prosedur dan peraturan tidak dipatuhi; staff tidak memiliki keterampilan, pengetahuan, dan sikap kerja sebagaimana mestinya; kurangnya motivasi; kegagalan komunikasi; serta perlengkapan yang tidak memadai.
Untuk mengatasi kendala dalam implementasi manajemen mutu seperti diuraikan di atas, harus dilandasi oleh perubahan sikap dan cara bekerja semua personil. Pemimpin harus memotivasi stafnya agar bekerja lebih baik, misalnya dengan jalan menciptakan iklim kerja yang menyenangkan, menyediakan sarana yang memadai (baik secara kuantitas maupun kualitasnya), menetapkan sistem dan prosedur kerja yang sederhana (dalam arti tidak berbelit-belit), serta memberi penghargaan atas keberhasilan dan prestasi staff. Hal ini memang bukan pekerjaan mudah, karena menuntut kerja keras, disiplin tinggi, dan pengorbanan semua pihak, terutama dengan merubah mindset dan paradigma kerja, yang semula lebih berorientasi pada segi kuantitas dalam pelaksanaan tugas menjadi lebih berorientasi pada mutu pelaksanaan tugas. Dengan demikian kebutuhan akan kehadiran pimpinan dan staff yang profesional menjadi sedemikian penting, karena dari merekalah diharapkan tercapainya output dan outcome yang betul-betul memiliki mutu competitive.
Paling tidak ada empat kategori sekolah apabila dilihat dari mutu dan proses pendidikannya, yaitu: bed school (sekolah yang buruk) , good school, (sekolah yang baik) effective school (sekolah yang efektif) dan excellence school (sekolah unggul). Bed school adalah sekolah yang memiliki in put yang baik atau sangat baik tetapi proses pendidikannya tidak baik dan menghasilkan out put yang tidak bermutu. Good school adalah sekolah yang memiliki in put yang baik, proses baik dan hasilnya (out put-nya) baik. effective school adalah sekolah yang memiliki in put baik/kurang baik, proses pendidikannya sangat baik dan menghasilkan out put baik/sangat baik. Sedang excellence school adalah sekolah yang in put nya sangat baik, prosesnya sangan baik dan menghasilkan lulusan (out put) yang sangat baik.
Sekolah yang efektif (effective school), adalah sebuah istilah untuk menggambarkan sekolah yang ideal. Istilah ini (effective school) antara lain dikemukakan oleh Margaret Preedy dalam bukunya “Managing the Effective” (1993), Davis and Thomas dalam bukunya “Effective School and Effective Teacher“, (1989), Frymier dkk,dalam bukunya “One Hundred Good Schools, (1984) dan Townsend dalam bukunya “Effective Schooling for The Community” (1994). Istilah-istilah lain yang berarti sekolah ideal seperti: sekolah yang baik (good school atau better schools) dikemukakan oleh John T. Lowel and Kimbal Wiles, dalam “Supervision for Better Schools” ( 1983) sekolah favorit (favorite school), sekolah unggulan (excellence school), sekolah yang sukses (successful school), sekolah bermutu (quality school), sekolah percontohan, sekolah model, sekolah elite, sekolah pujaan, sekolah mahal, sekolah harapan dan lain sebagainya. Berikut ini dikemukakan pendapat para ahli tentang sekolah yang efektif.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sekolah dikatakan baik apabila memiliki delapan kriteria: (1) siswa yang masuk terseleksi dengan ketat dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prestasi akademik, psikotes dan tes fisik; (2) sarana dan prasarana pendidikan terpenuhi dan kondusif bagi proses pembelajaran, (3) iklim dan suasana mendukung untuk kegiatan belajar, (4) guru dan tenaga kependidikan memiliki profesionalisme yang tinggi dan tingkat kesejahteraan yang memadai, (5) melakukan improvisasi kurikulum sehingga memenuhi kebutuhan siswa yang pada umumnya memiliki motivasi belajar yang tinggi dibandingkan dengan siswa seusianya, (6) jam belajar siswa umumnya lebih lama karena tuntutan kurikulum dan kebutuhan belajar siswa, (7) proses pembelajaran lebih berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada siswa maupun wali siswa, dan (8) sekolah unggul bermanfaat bagi lingkungannya (Depdikbud, Pengembangan Sekolah Unggul, 1994).
Sejalan dengan kriteria Depdiknas di atas, menurut Lipsitz dalam bukunya “Successful Schools for Young Adolescent” mengemukakan, sekolah dikatakan baik apabila memiliki kriteria kebaikan (goodness) yang banyak: (1) Aspek murid; kualitas lulusan diakui institusi lain yang dengan indikasi: skor tes murid di atas rata-rata kelompok murid lain yang sejenjang; guru dan muridnya sama-sama bekerja keras untuk sukses; para murid puas dengan sekolahnya; para murid yang dirujuk untuk layanan kesehatan mental rendah bahkan dibanding dengan sekolah lain; para murid memenangkan lomba-lomba olah raga dan kegiatan ekstra lainnya; banyak murid yang menstudi bahasa asing, seni dan fisik. (2) Aspek guru: para guru merencanakan pelajaran secara memadai: anggota guru cukup memadai bagi murid; anggota guru bekerjasama, membagi ide, dan saling membantu di antara mereka; pergantian guru rendah; konflik guru rendah. (3) Aktivitas kelembagaan: sekolah mempunyai program perayaan hari besar nasional dan keagamaan; program ekstrakurikuler yang menarik bagi murid; moral lembaga tinggi. (4) Orangtua menerima hasil studi anaknya secara baik; para orangtua mempunyai pilihan untuk mengirimkan anaknya pada sekolah favorit dibanding sekolah lain (J. Lipsitz, 1983).
Fantini dalam “Regaining Excellence in Education” mengemukakan untuk menilai kualitas pendidikan, paling tidak ada empat dimensi yang harus diperhatikan: aspek individu murid, kurikulum, guru dan lulusan dari suatu proses pendidikan (M. Fantini, 1986). Sementara itu Davis dan Thomas dalam bukunya “Effective Schools and Effective Teacher” setelah mengutip pendapat para pakar dan berdasarkan hasil berbagai penelitian menyimpulkan lima karateristik sekolah yang efektif: (1) praktek pengelolaan kelas yang baik; (2) kemampuan akademik yang tinggi; (3) monitoring kemajuan siswa; (4) peningkatan kualitas pengajaran menjadi prioritas sekolah; (5) kejelasan arah dan tujuan (Gary A. Davis & Margaret A. Thomas, 1989).
Dari berbagai pendapat tersebut, penulis membedakan antara sekolah yang efektif (effective school) dan sekolah unggul. Sekolah yang efektif menggambarkan adanya keefektifan dalam proses pendidikan sehingga hasilnya maksimal. Sebagai gambaran, walaupun keadaan input siswa, guru dan fasilitas tidak nomor satu akan tetapi menghasilkan lulusan nomor satu atau hasil rata-ratanya sangat signifikan. Sementara itu yang disebut sekolah unggul adalah sekolah yang memang unggul dalam berbagai hal: siswa dan guru pilihan, bangunan fisik megah dan fasilitas lengkap, dan unggul pula dalam biaya pendidikannya. Apakah sekolah unggul ini pasti efektif? Jawabannya belum tentu dan tidak ada jaminan. Namun demikian, dengan keunggulannya itu tentunya memiliki peluang lebih besar untuk menjadi sekolah yang efekif atau sekolah yang baik.
Townsend secara metodologis mengemukakan framework (kerangka kerja) untuk melakukan penilaian terhadap efektifitas sekolah yang meliputi delapan aspek: tujuan sekolah, implementasi kurikulum, kepemimpinan kepala sekolah, pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, lingkungan sekolah, komunikasi dan keterlibatan komunitas sekolah (Tony Townsend, 1994).

MENGUKUR MUTU SEKOLAH ( II )

Terdapat beberapa pendekatan untuk menilai kualitas sebuah sekolah. Pendekatan-pendekatan itu terkait dengan perspektif yang digunakan dalam memahami hakekat sekolah. Ahli filsafat pendidikan akan mengkajinya dari aspek kefilsafatannya, yaitu sejauh mana sekolah mampu merumuskan tujuan dan nilai-nilai yang mampu menjadi arah dan menjiwai visi, misi, dan proses penyelenggaraan pendidikan, utamanya tercermin dalam sistem kurikulumnya.
Tulisan ini mengkaji tentang pengembangan sekolah yang efektif dalam perspektif sistem organisasi dengan sudut pandang sosiologi organisasi yang memiliki kedekatan dengan sudut pandang administrasi pendidikan. Gibson dkk dan juga Robins dan juga Robin (Gibson1992, Robins, 1983) berpendapat efektifitas organisasi termasuk di dalamnya organisasi sekolah dilihat dari tiga kriteria: Pertama diukur dengan sejauhmana sekolah dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Model ini disebut model pendekatan tujuan. Kedua, diukur dari kualitas atau efektifitas proses pembelajaran. Model ini disebut model proses atau model sistem. Dan yang ketiga diukur dengan kelangsungan organisasi sekolah. Model ini disebut model respons lingkungan menurut Robins.
1) Pendekatan Tujuan (objective approach)
Model tujuan berangkat dari pemikiran bahwa sekolah adalah sebuah organisasi (Lihat Philip Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali, 1981). Menurut Etzioni dalam bukunya “Organisasi-Organisasi Modern” mengemukakan, organisasi dikatakan berhasil apabila dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Etzioni, 1985). Demikian juga sekolah sebagai sebuah organisasi yang bertujuan, akan dikatakan berhasil apabila dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan organisasi yang bernama sekolah sebenarnya sangat komplek tergantung dari motif-motif dominan para penyelenggaranya. Namun secara umum biasanya diukur dengan tingkat pencapaian prestasi lulusan sekolah yang diukur melalui tes uji kemampuan murid. Di Indonesia pada umumnya, prestasi murid diukur dengan standar nilai nasional atau nilai ujian akhir sekolah. Sehingga sekolah dikatakan bermutu, unggul dan baik apabila lulusannya memperoleh nilai tertinggi dibanding sekolah-sekolah lainnya dan pada gilirannya dapat melanjutkan ke sekolah favorit pada jenjang yang lebih tinggi.
Pendekatan sekolah yang baik berdasarkan pada pencapaian tujuan ini menurut Arifin dalam penelitian Disertasinya yang berjudul “ Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Mengelola Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar Berprestasi: Studi Multi Kasus pada MIN Malang I, MI Mamba’ul Ulum, dan SDN Ngaglik I Batu di Malang” pernah diterapkan oleh The Seatle Public Scool, Washington Amerika Serikat pada tahun 1982 yang menetapkan sekolah yang bermutu berdasarkan muridnya yang memiliki kriteria: (1) menguasai keterampilan-keterampilan dasar (mastery of basic skill); (2) berusaha meraih prestasi akademik semaksimal mungkin pada semua mata pelajaran; dan (3) menunjukkan keberhasilan melalui evaluasi yang sistematik (systematic testing) (Arifin, 1998).
Mengukur keefektifan sekolah berdasarkan pencapaian tujuan dapat dikatakan sebagai pendekatan klasik, namun demikian tetap merupakan cara yang fungsional, efektif-efisien dan mudah. Hanya saja penggunaan pendekatan ini perlu disertai dengan beberapa catatan: (1) tujuan sekolah tidak semata-mata diukur berdasarkan prestasi murid apalagi hanya prestasi akademik; (2) sekolah sebagai organisasi juga memiliki ukuran keefektifan seperti kepuasan dan prestasi kerja guru, partisipasi dan kepuasan wali murid sebagai pelanggan (customer), keefektifan kepemimpinan, kelangsungan organisasi sekolah dan lain sebagainya.
Penetapan keefektifan sekolah yang hanya dilihat dari kemampuan akademik siswa semata jelas berangkat dari paradigma pendidikan yang tidak memadai, yaitu paradigma yang memisahkan pendidikan dari kehidupan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mempersiapkan murid untuk menghadapi kehidupan. Siap menghadapi kehidupan menurut Buchori dalam bukunya “Pendidikan Antisipatoris“, tidak terbatas pada mempersiapkan murid pada posisi-posisi (profesi dan jabatan) dalam masyarakat dan untuk keberhasilan hidup, melainkan lebih dari itu agar: (1) dapat hidup (to make a living); (2) untuk dapat mengembangkan kehidupan bermakna (to lead a meaningful life); dan (3) untuk turut memuliakan kehidupan (to enneble life)) Buchori, 2001).
Pencapaian tujuan pendidikan yang meliputi empat pilar pendidikan sebagaimana direkomendasikan oleh UNESCO barangkali juga lebih memadai untuk dijadikan ukuran bagi sekolah yang efektif. Keempat pilar itu sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya meliputi: learning to know, learning to do, learning to live together dan learnig to be (Wuri Sudjatmiko, 2000). Keempat pilar pendidikan (the four pillars of education) itu merupakan kemampuan komulatif murid yang direkomendasikan UNESCO dalam menghadapi milenium ketiga abad ke-21. Learning to know, diterjemahkan sebagai orang yang memiliki kemampuan dan kecakapan intelektual, yaitu memiliki keterampilan berfikir (mampu bernalar, cerdas, kreatif, inovatif, mampu mengambil keputusan, mampu menyelesaikan masalah) dan memiliki wawasan dan menguasai informasi tentang dinamika persoalan kehidupannya. Learning to know dapat berkembang dengan baik apabila murid dibekali dengan kemampuan dasar (membaca, menulis, berbicara, mendengarkan dan berhitung) dengan baik.
Learning to do di masa depan tidak terbatas pada keterampilan fisik rutin, melainkan lebih banyak terkait pada kompetensi personal yang menggabungkan keterampilan dan bakat seperti perilaku sosial, prakarsa personal, dan kehendak untuk mengambil resiko. Inilah orang yang cerdas secara emosional (emotional Intelligence atau emotional quotient). Penemuan pakar sosiologi kontemporer seperti Danield Goleman Dalam penelitiannya yang popular, Goleman menemukan banyaknya orang yang memiliki EQ yang lebih tinggi meskipun IQ lebih rendah tetapi mampu memimpin orang yang memiliki IQ lebih tinggi tetapi EQnya rendah. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa untuk dapat berkarya, membangun prestasi, harus dimulai dari diri sendiri, yaitu memahami diri sendiri (potensi diri), mampu mengelola diri sendiri, memiliki motivasi untuk sukses yang tinggi, mampu memahami dan dapat menjalin hubungan dengan orang lain atas dasar saling membangun kepercayaan.
Learning to live together diterjemahkan sebagai kemampuan menghormati kehidupan dan kebersamaan dalam keragaman budaya, agama, etnik dan lain sebagainya. Dan learning to be diterjemahkan sebagai tercapainya perkembangan yang maksimal dan seutuhnya dalam kepribadian yang ditandai dengan terciptanya self esteem, tanggung jawab, kemampuan bersosialisasi, self management, integritas dan kejujuran.
Keempat pilar pendidikan ini merupakan satu kesatuan. Dan keempat pilar ini pulalah yang mestinya dijadikan ukuran keefektifan sekolah yang ditetapkan berdasarkan prestasi murid.
2) Pendekatan Proses (process approach)
Menurut Gibson dalam bukunya “Organisasi Perilaku Struktur Proses” mengemukakan, pendekatan proses atau pendekatan sistem menekankan pentingnya adaptasi terhadap tuntutan ekstern sebagai kriteria penilaian keefektifan (James L. Gibson, 1992). Analisis keefektifan organisasi menurut pendekatan ini terfokus pada perilaku organisasi secara intern dan ekstern. Secara intern yang dikaji adalah bagaimana dan mengapa orang (guru) di dalam organisasi (sekolah) melaksanakan tugas individual dan kelompok. Secara ekstern yang dikaji adalah transaksi dan kolaborasi (dialektika) organisasi sekolah dengan organisasi, lembaga atau pihak lain.
Senada dengan Gibson, Hoy & Ferguson, W.K. Hoy dan J. Fergusen, dalam bukunya “A. Theoritical Framework and Explanation of Organizational Effectiveness of School” mengemukakan, (Administration Quarterly, Volume XXI, No. 2 Spiring: 1985), hal. 117-132.pendekatan proses melihat keefektifan organisasi pada konsistensi internal, efisiensi penggunaan sumber daya yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya (W.K. Hoy dan J. Fergusen, 1985). Dalam perspektif Teori Sistem, organisasi sekolah dianggap sebagai satu kesatuan dari komponen-komponen yang saling berkaitan. Keterkaitan antar komponen itu terjadi dalam proses kerja organisasi yang secara linier maupun secara siklus mengikuti pola input-process-output atau masukan- proses-keluaran. Infrastruktur sekolah seperti guru, fisik dan fasilitas, kurikulum dan organisasi sekolah merupakan aspek intern. Sementara supra struktur sekolah seperti harapan dan tuntutan masyarakat dan pemerintah merupakan aspek ekstern. Pengendalian aspek intern dan ekstern secara serempak adalah tugas utama pimpinan sekolah sebagai seorang menajer.
Penetapan pendekatan proses dalam menilai keefektifan sekolah menurut Hoy dan Ferguson didasari oleh dua asumsi: Pertama, organisasi sekolah merupakan sebuah sistem yang terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya. Kedua, organisasi sekolah merupakan sebuah sistem yang dinamis, dan begitu menjadi besar, kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi seperti prestasi murid semata. Keefektifan suatu sekolah diukur pada proses organisasional termasuk di dalamnya proses pembelajaran. Kewajiban sekolah adalah menyelenggarakan pendidikan dan menciptakan kondisi dengan sebaik-baiknya. Sekolah harus memberikan penjaminan mutu dalam proses pendidikannya. Asumsinya adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara proses dengan hasil atau antara proses pendidikan dengan prestasi murid, walaupun disadari prestasi murid tidak sepenuhnya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah. Memang terdapat variabel lain yang ikut mempengaruhi prestasi belajar murid yang tidak dapat sepenuhnya dikontrol oleh sekolah seperti perhatian orangtua, pergaulan murid di luar jam sekolah, kecerdasan intelektual (intellectual intelligence), kecerdasan emosional (emotional intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Akan tetapi hal itu tentu tidak dapat sepenuhnya dikontrol oleh pihak sekolah.
Tingkat keefektifan proses organisasional sekolah menurut Sergiovanni dalam bukunya “The Principalship: A Reflective Practice Perspectives” disebut karakteristik sekolah (school characteristics) (T..J. Sergiovanni, 1987). Kareakteristik sekolah (school characteristics) menurut Owens dalam bukunya “Organizational Behavior in Education” dikelompokkan dalam dua perspektif: pertama, karakteristik internal sekolah yang mencakup: gaya kepemimipinan, proses komunikasi, sistem supervisi dan evaluasi, sistem pembelajaran, kedisiplinan, dan proses pembuatan keputusan. Kedua, katrakteristik eksternal sekolah, yaitu karakteristik situasi dimana sekolah berada dan saling mempengaruhi dengan karakteristik masyarakat seperti kekayaan, tradisi sosio-kultural, struktur kekuatan politik, dan demografinya (R.G. Owens, 1987).
Ahli organisasi seperti Etzioni mengemukakan, dua pendekatan dalam menganalisis organisasi yaitu pendekatan tujuan dan pendekatan sistem (proses) merupakan dua teknik analisis yang paling popular (Etzioni, 1985). Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangannya. Orang luar organisasi sekolah seperti orangtua murid dan pengguna lulusan lebih cenderung memilih pendekatan tujuan untuk menganalisis keefektifan (effectivness) sekolah. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan: Berapa prosen tingkat kelulusan sekolah? Berapa NEM tertinggi yang diraih dan oleh berapa murid? Dari jumlah lulusan, berapa persen yang masuk di sekolah favorite pada jenjang di atasnya? dan seterusnya. Mereka pada umumnya tidak mau tahu tentang proses, melainkan hasil.
Sementara itu pihak intern sekolah lebih cenderung menggunakan pendekatan proses dalam menilai keefektifan sekolah dengan sebuah pertanyaan: apakah semua komponen sekolah dan komponen dalam proses pembelajaran telah berfungsi secara efektif? Apakah guru-guru telah mengajar secara efektif? Apakah kepustakaan telah dapat berfungsi sebagaimana mestinya? Apakah lingkungan sekolah dapat diciptakan suasana yang kondusif untuk belajar?
Dua pendekatan tersebut tidak saling bertentangan melainkan saling melengkapi. Karena itu, tidak sedikit ahli administrasi pendidikan yang menetapkan kriteria sekolah yang efektif berdasarkan gabungan dari kedua pendekatan tersebut. Mortimore dkk dalam bukunya “School Matters: The Junior Years” (1988) dan Brandma dan Knuver sebagaimana dikutip Scheerens dalam bukunya “Effective Schooling for The Community” menemukan lima faktor pendorong sekolah menjadi efektif, yaitu: (1) kuatnya kepemimpinan pendidikan (strong educational leadership); (2) penekanan pada pencapaian belajar keterampilan dasar (emphasis on acquiring basic skills); (3) perawatan dan pemeliharaan lingkungan (an orderly and secure environment); (4) harapan tinggi atas pencapaian belajar murid (high expectations of pupil attainment); dan (5) perkiraan secara intensif pada kemajuan (belajar) murid (frequent assessment of pupil progress). Di indonesia, peneliti yang menggunakan dua pendekatan ini antara lain dilakukan Bafadal dalam penelitian disertasinya , “Proses Perubahan di sekolah: Studi Multi Kasus pada Tiga Sekolah yang Baik di Sumekar“(1994) yang menekankan sekolah yang baik berdasarkan pencapaian tujuan pembelajaran yang disimbolkan dengan prestasi akademik siswa dan keefektifan sistem organisasi sekolah.
3) Pendekatan Kelangsungan Pembaharuan (Continuous Improvement Approach)
Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa organisasi sekolah diibaratkan sebagai organisme yang hidup. Ia mengalami masa pendirian, pertumbuhan, perkembangan, dan seterusnya. Hadikumoro dalam bukunya “Strategi dan Fase Pengembangan Perguruan Tinggi Swasta” mengemukakan fase pengembangan perguruan tinggi swasta kepada lima fase: pendirian, pertumbuhan, perkembangan, peningkatan kualitas akademik (kedewasaan) dan fase aktualisasi diri (Hadikoemoro, 1980). Fase perkembangan sekolah swasta tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Hadikoemoro di atas. Sekolah yang baik dengan demikian adalah sekolah yang fase-fase perkembangannya dapat dilalui secara dinamis, gradual dan berkelanjutan menuju kedewasaan dan aktualisasi diri. Fase kedewasaan ditandai dengan kemantapan elemen-elemen dalam sistem sekolah seperti guru yang profesional, kelengkapan fisik dan fasilitas, menejemen yang sehat, kepercayaan masyarakat tinggi sehingga keberadaannya menjadi kokoh, meyakinkan (convincingly) dan diperhitungkan oleh masyarakat. Sedangkan fase aktualisasi diri ditandai dengan kemampuan sekolah melahirkan adikarya dan mengambil peran di masyarakat, memiliki basis sosial yang kokoh, alumninya tersebar dalam berbagai posisi strategis di masyarakat. Kelangsungan hidup (viability) sekolah dengan demikian seakan tak tergoyahkan. Sekolah di negara-negara maju banyak yang telah memasuki fase aktualisasi diri ini dan tidak sedikit telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Ibarat tanaman, sekolah yang telah memasuki fase aktualisasi diri adalah tanaman yang sehat, berbuah lebat dan berkualitas dan telah berkembang biak. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sekolah yang efektif menurut pendekatan kelangsungan organisasi adalah sekolah yang keberadaannya kokoh, menjadi simbol prestasi, dan meyakinkan masyarakat tentang kelangsungan hidupnya dan memiliki keefektifan secara internal dan eksternal.
Pendekatan kelangsungan organisasi ini penulis anggap penting untuk menilai keefektifan sekolah khususnya bagi budaya pengorganisasian sekolah di tanah air. Tidak sedikit sekolah-sekolah Islam yang kelangsungan organisasinya tidak berjalan secara dinamis-linier menuju kedewasaan dan aktualisasi diri. Kebanyakan justru mengikuti pola spiral, stagnan, set-back dan bahkan berguguran sebelum memasuki kedewasaan. Ketika masih berada pada masa-masa sulit kondisinya aman-aman saja, namun ketika mulai berkembang muncullah konflik dan berbagai persoalan. Ibarat tanaman, muncullah berbagai macam hama dan penyakit yang tidak hanya menghambat pertumbuhan tanaman, melainkan mematikannya. Akibatnya ribuan sekolah Islam di tanah air masih banyak yang belum berperan sebagai tempat berinvestasi bagi pengembangan sumberdaya manusia. Sementara yang berhasil mencapai kedewasaan dapat dihitung dengan jari dan yang berhasil mencapai aktualisasi diri masih harus dipertanyakan ada-tidaknya.
Sebagian peneliti pendidikan menyebut pendekatan kelangsungan organisasi dengan istilah perdekatan respon lingkungan atau pendekatan multidimensional. Purnel dan Gotts dalam bukunya “An Approach for Inproving Parent Involvement Through More Effective School-Home Communication” (1983) misalnya setelah melakukan penelitian tentang hubungan sekolah dan masyarakat (orangtua) mengatakan, sekolah yang efektif adalah sekolah yang mampu menimbulkan respon positif dari orang dan masyarakat di sekitarnya.
Menurut Etzioni dalam bukunya “Modern Organizations” mengatakan, pendekatan kelangsungan organisasi merupakan dimensi lain dari pendekatan sistem dalam analisis keefektifan organisasi, sementara menurut Sergiovanni pendekatan respon lingkungan pada dasarnya merupakan dimensi lain yang melengkapi pendekatan pencapaian tujuan dan pendekatan proses dalam menetapkan sekolah yang efektif. Oleh karena itu, Sergiovanni menyarankan kepada para kepala sekolah, teoritisi, dan peneliti agar tidak mempertentangkan kedua model pendekatan ini atau memilih salah satu diantaranya. Sebaliknya, pendekatan tujuan yang digabungkan dengan pendekatan proses dan pendekatan kelangsungan organisasi akan lebih komprehensif didalam memahami kesuksesan sekolah.
4) Gabungan dari Ketiga Pendekatan
Sebuah teori senantiasa berangkat dari paradigma tertentu yang sifatnya spesifik dan parsial dalam melihat realitas. Demikian juga ketiga perspektif pendekatan (teoritik) terhadap sekolah yang efektif sebagaimana telah dikemukakan. Sifat teori senantiasa spesifik, mendalam dan bahkan ekstrem. Apabila ketiga perspektif teoritik tersebut digabungkan, diharapkan akan memperoleh gambaran yang utuh, mendalam dan terintegrasi tentang sekolah yang efektif.
Frymer, dkk dalam bukunya “One Hundred Good Schools” mengemukakan 12 ciri sekolah yang efektif yang meliputi:
a) sekolah sebagai bagian dari program pendidikan masyarakat luas; b) tujuan-tujuan sekolah memenuhi unsur komprehensif, seimbang, realistik, dan difahami, dan tujuan tersebut terserap dalam kegiatan sekolah; c) sekolah mempunyai pertanggungjawaban untuk perencanaan program yang dilakukan olegh personel sekolah sendiri; d) iklim sekolah yang bersahabat, humor sehat, sibuk dan anggota sekolah dan staf secara umum melakukan kerja sebagai tantangan dan kepuasan; e) bervariasinya mode dan sumber mengajar yang digunakan secara tepat untuk tujuan pembelajaran; f) unjuk kerja murid mengarah pada semua tujuan sekolah yang dievaluasikan secara umum memuaskan; g) murid partisipasi penuh dan bersemangat dalam berbagai kegiatan yang diberikan oleh sekolah dan masyarakat; h) orang tua dan masyarakat lain dari komunitas sekolah berpartisipasi penuh dan bersemangat dalam memberikan kesempatan bagi lingkungan mereka dalam program pendidikan; i) perpustakaan dan pusat belajar lain secara luas dan efektif digunakan oleh murid; j) program sekolah memberikan kemajuan alami bagi pelajar dari tergantung kemandiriannya; k) kepala sekolah merupakan pemimpin yang berpengaruh dan berkolaborasi secara efektif dalam sekolah dan masyarakat; dan l) guru-guru sekolah tampak melakukan pembaharuan dan perbaikan secara kontinyu.

Menurut Postman & Weingartner “The School Book: For People Who want to Know What All the Hollering is About” (1979), sekolah sebagai institusi memiliki 8 (delapan) fungsi esensial yang apabila masing-masing fungsi esensial dijabarkan kesemuanya menjadi 35 (tiga puluh lima) indikator sekolah yang efektif:
a) Dilihat dari penstrukturan waktu, sekolah dikatakan baik apabila memenuhi: (1) pengaturan waktu didasarkan atas ketentuan yang ada secara konsisten; (2) antara murid tidak diharuskan mengerjakan tugas yang sama dalam rentang waktu yang sama; (3) murid-murid tidak disyaratkan semata-mata mematuhi waktu dalam pelajaran, melainkan pada perolehan hasil proses pembelajaran; dan (4) murid-murid diarahkan untuk mengorganisasi dan memanfaatkan waktu mereka sendiri dalam belajar.
b) Dilihat dari penstrukturan aktivitasnya, sekolah yang efektif adalah: (1) aktivitas-aktivitasnya disesuaikan dengan kebutuhan murid secara individual; (2) antara murid satu dengan lainnya tidak dituntut mengikuti aktivitas yang sama; (3) sekolah melibatkan sepenuhnya partisipasi murid; (4) murid sebagai subyek dalam setiap aktivitasnya; (5) aktivitas murid tidak terbatas pada gedung sekolah, melainkan mencakup semua sumber dalam masyarakat; (6) pengembangan aktivitas berdasarkan pada perbedaan latar belakang dan kemampuan murid.
c) Ditinjau dari pendefinisian kecerdasan, pengetahuan atau perilakunya, sekolah dikatakan baik apabila: (1) Proses pembelajaran lebih menekankan pada penemuan, pemecahan masalah dan penelitian dari pada memorisasi; (2) murid dihindarkan dari kebiasaan menerima pelajaran secara pasip; (3) berbagai keterampilan komunikasi dilatihkan kepada murid; (4) meningkatkan penghargaan terhadap ilmu untuk praktek kegiatan sehari-hari; (5) menyadari perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang dan tidak membakukan pengetahuan yang ada; (6) pengetahuan diri sendiri merupakan bagian dari definisi pengetahuannya.
d) Ditinjau pelaksanaan evaluasi, sekolah dikatakan efektif apabila: (1) menekan upaya balikan dan mendorong belajar murid; (2) digunakan pendekatan yang humanistik dan perorangan; (3) mencakup aspek yang komprehensif; (4) macam perilaku yang dikehendaki dinyatakan secara eksplisit; (5) hati-hati menggunakan tes standar; (6) untuk mengevaluasi guru dan administrator digunakan prosedur yang konstruktif dan tidak bersifat menghukum.
e) Ditinjau dari pelaksanaan supervisi, sekolah yang efektif apabila: (1) menghindari permusuhan guru-murid, sebaliknya lebih menyuburkan kerjasama antar keduanya; (2) murid diberi peluang untuk mensupervisi dirinya sendiri; dan (3) memecahkan masalah murid secara tuntas.
f) Ditinjau dari perbedaan peran, sekolah dikatakan efektif apabila: (1) sekolah diciptakan sebagai masyarakat belajar dan guru berperan sebagai koordinator dan fasilitator; (2) aktor proses pembelajaran tidak didiminasi oleh guru; (3) peran mengajar diorganisasikan dan kemudian ditugaskan sesuai dengan kemampuan guru; (4) murid tidak dijadikan obyek, melainkan didorong untuk aktif membentuk pengalamannya sendiri; (5) hubungan sesama murid tidak ditempatkan sebagai kompetitor semata, melainkan juga sebagai kolaborator.
g) Ditinjau dari pertanggungjawaban terhadap masyarakat, sekolah yang efektif apabila personelnya: (1) hubungan sekolah-masyarakat lebih menekankan pada pola partisipasi dari pada pola paternalisme-birokratik; (2) Mengembangkan diversifikasi program kepada masyarakat; (3) tidak kuatir mempertanggungjawabkan performansi sekolah.
h) Ditinjau dari pertanggungjawaban kepada masa depan, sekolah yang efektif apabila: (1) proses pembelajaran berorientasi pada masa depan berdasarkan analisis kondisi sekarang dan masa lalu; (2) menginterpretasikan tanggungjawabnya kepada masa depan, khususnya kepada murid dan stake-holder.
Analisis tentang sekolah efektif di atas, menurut peneliti berangkat dari paradigma sekolah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran dan dalam perspektif administrasi pendidikan. Ketiga pendekatan tersebut sangat fungsional.
Daftar Bacaan
Juran, J.M, (1995), Merancang Mutu, Terjemahan Bambang Hartono dari Juran On Quality By Design, Jakarta: PT. Pustaka Binawan Pressindo (Buku ke 1).
Crosby, Philip B., (1984). Quality Without Tears: The Art of Hassle- Free Management, New York: Mc. Graw Hill Book Company.Tenner, A.R, dan De Toro, I.J (1992:68), Total Quality Management: Three Steps To Continuous Improvement, Reading, MA: Addison-Wesley Publishing Company. h. 31
Tampubolon, Daulat P., (1992). Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad Ke-21. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. h. 108
Depdiknas. (2001). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Buku1 , Konsep dan pelaksanaan. Jakarta. Balitbang. Depdiknas. h. 4
Sallis, Edward. (1993). Total Quality Management in Education. Kogan Page Educational Management Series. Philadelphia, London. h. 12
Tjutju Yuniarsih. (1997). Kontribusi Kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap Manajemen Mutu Sekolah Dasar. Disertasi S3, PPS IKIP Bandung

Jumat, 10 Desember 2010

Motivasi di Dalam Kelas

Oleh Subagio,M.Pd *)
Guru memegang peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan motivasi di dalam diri siswa. Pemotivasian siswa ini justru merupakan salah satu tugas utama dan seni yang harus dikuasai guru dalam mengajar. Disini pula letaknya perbedaan seorang guru dengan guru lain dalam mengajar. Tidak jarang seorang guru dianggap sebagai guru favorit oleh siswa karena kemampuannya dalam memotivasi siswa. Karenanya, kemampuan guru memotivasi siswa merupakan salah satu kunci suksesnya dalam mengajar.
Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru. Bagi siswa pentingnya motivasi belajar adalah sebagai berikut : (1) Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses, dan hasil akhir; (2) Menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar, yang dibandingkan dengan teman sebaya; (3) Mengarahkan kegiatan belajar; (4) Membesarkan semangat belajar; (5) Menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja.
Motivasi belajar juga penting diketahui oleh seorang guru. Pengetahuan dan pemahaman tentang motivasi belajar pada siswa bermanfaat bagi guru, manfaat itu sebagai berikut : (1) Membangkitkan, meningkatkan, dan memelihara semangat siswa untuk belajar sampai berhasil; membangkitkan bila siswa tak bersemangat; meningkatkan, bila semangat belajarnya timbul tengelam; memelihara, bila semangatnya telah kuat untuk mencapai tujuan belajar (2) Mengetahui dan memahami motivasi belajar siswa di dalam kelas (3) Meningkatkan dan menyadarkan guru untuk memilih satu diantara bermacam-macam peran seperti penasihat, fasilitator, instruktur, teman diskusi, penyemangat, pemberi hadiah, atau pendidik (4) Memberi peluang guru untuk “unjuk kerja” rekayasa pedagogis.
Denga memahami teori-teori tentang motivasi, maka guru dapat mengembangkan delapan jenis motivasi di dalam kelas, yaitu : (1) motivasi tugas, (2) motivasi aspirasi, (3) motivasi persaingan, (4) motivasi afiliasi, (5) motivasi kegagalan, (6) motivasi menghindar, (7) motivasi penguatan; dan (8) motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri.
Motivasi tugas adalah motivasi yang ditimbulkan oleh tugas- tugas yang ditetapkan bersama oleh guru, siswa sendiri, maupun yang dirancang oleh guru dan siswa secara bersama-sama. Siswa yang memilki moivasi tugas memperlihatkan keterlibatan dan ketekunan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas tugas belajar. Motivasi tugas hendaklah dibangun di dalam diri siswa dan ini dapat dilakukan oleh guru kalau dia mengetahui caranya.
Motivasi asprasi yang tinggi tumbuh dengan subur kalau siswa memilki perasan sukses. Perasaan gagal dapat menghancurkan aspirasi siswa dalam belajar. Oleh karena itu guru jangan menjadikan siswa selalu gagal, walaupun ini bukan bermakna guru harus menjadikan siswa sukses terus menerus. Suatu konsep yang harus ditanam oleh guru kepada siswa agar ia memiliki aspirasi yang tingi adalah bahwa kesuksesan atau kegagalan ditentukan oleh ‘usaha’, bukan kemampuan atau kecerdasan.
Persaingan yang sehat dapat menjadi motivasi yang kuat dalam belajar. Namun memupuk rasa persaingan yang berlebih-lebihan, di kalangan siswa dalam belajar dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat, karena siswa bukan menjadi giat belajar, tetapi dengan berbagai cara berusaha mengalahka siswa lain untuk mendapatkan status. Membangun persaingan dengan diri sendiri pada setiap siswa aka menimbulkan motivasi persaingan yang sehat dan berkesan dalam belajar.
Motivasi afiliasi adalah dorongan untuk melaksanakan kegiatan belajar dengan sebaik-baiknya, karea ingin diterima dan diakui oleh orang lain. Siswa-siswa yang masih kecil berusaha meningkatkan usaha dan prestasi dalam belajar agar dia dapat diterima dan diakui oleh orang dewasa, yaitu guru dan ibu bapaknya. Namun para remaja lebih terdorong belajar untuk mendapatkan penerimaan da pengakuan dari rekan sebaya. Oleh karena itu, guru-guru yang mengajar siswa-siswa yang masih kecil hendaknya memberikan perhatian dan penghargaan yang penuh terhadap peningkatan usaha dan hasil belajar yang ditampilkan oleh siswa. Bagi siswa remaja, guru hendaknya dapat memanfaatkan kelompok untuk meningkatkan usaha dan prestasi belajar.
Kegagalan dapat mendorong usaha dan hasil belajar. Tetapi kegagalan yang berlebihan dapat menurunkan gairah dan hasil belajar. Siswa yang telah memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar jika mengalami kegagalan dapat menurunkan motivasinya itu. Demikian juga dengan siswa-siwa yang memiliki kecerdasan (IQ) rendah kalau mengalami kegagalan menyebabkan usaha dan hasil belajar mereka menjadi bertambah menurun. Tetapi kegagalan sangat bermakna untuk meningkatkan usaha dan hasil belajar siswa yang bermotivasi rendah dan yang memiliki kecerdasan tinggi.
Motivasi mendorong seseorang melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Disini motivasi adalah sangat penting. Seseorang yang motivasinya besar akan menampakkan minat, perhatian, konsentrasi penuh, ketekunan tinggi, serta berorientasi pada prestasi tanpa mengenal perasaan bosan, jenuh apalagi menyerah. Sebaliknya siswa yang rendah motivasinya akan terlihat acuh tak acuh, cepat bosan, mudah putus asa dan berusaha menghindar dari kegiatan, misalnya terdapat dua anak yang memiliki kemampuan sama dan memberikan peluang dan kondisi yang sama untuk mencapai prestasi belajar, kinerja dan hasil belajar yang dicapai oleh anak yang termotivasi akan lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak termotivasi. Motivasi akan mendorong siswa untuk lebih meningkatkan prestasi belajar siswa. Belajar tanpa motivasi sulit untuk mencapai keberhasilan secara optimal.
Motivasi penguatan dapat dilihat melalui grafik kemajuan belajar siswa. Guru hendaklah menjauhi pemahaman bahwa pemberian angka sebagai sumber utama untuk menimbulkan motivasi penguatan, karena menitik-beratkan pemberian angka dalam memotivasi siswa dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan akan menimbulkan kegagalan di dalam kelas.
Motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri sangat bermakna dalam meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Siswa-siswa ini menunjukkan tingkah laku yang mandiri dalam belajar dan mempunyai sistem nilai yang baik yang melatar-belakangi tingkah laku mereka itu. Pembentukan sistem nilai-nilai yang menjadi tanggung jawab guru pada setiap siswa, sehingga siswa-siswa memiliki motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri adalah sangat penting. Bagi siswa-siswa yang telah memiliki motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri, guru hanya perlu memberikan pelayanan yang sesuai dengan tuntutan aktivitas belajar mereka.
*) Penulis adalah Kepala SMPN 2 Cibeureum

Kamis, 02 Desember 2010

CONTOH SOAL

SOAL CERITA UASBN SD
MATA PELAJARAN MATEMATIKA
1.Ibu membeli kentang sebanyak 7,2 kg dengan harga Rp 2.250,00 tiap 1 kg. Setengah dari kentang tersebut telah dijual. Sepertiga dari sisanya dibeli oleh Bibi dengan harga Rp 2.600,00 setiap kg. Berapa rupiah Bibi harus membayar ?
2.Ada tiga lampu yaitu, merah, hijau dan kuning. Lampu merah menyala setiap 16 detik, lampu hijau menyala setiap 24 detik, lampu kuning menyala setiap 36 detik. Jika ketiga lampu awalnya dinyalakan bersama-sama, maka pada detik keberapa lampu-lampu itu menyala bersama-sama lagi ?
3.Halaman sebuah sekolah berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 24 meter dan lebar 13 m. Di tengah halaman dibangun sebuah taman berbentuk lingkaran dengan garis tengah 7 m. Berapa m2 luas halaman yang tidak ada tamannya ?
4.Ibu mempunyai uang Rp 1.750.000,00. Diberi lagi oleh ayah sebanyak Rp 250.000,00. Digunakan Ibu untuk membayar hutang sebesar Rp 511.500,00. Semua sisa uangnya dibelikan beras sebanyak 650 kg. Berapa harga beras setiap kg ?
5.Sebuah truk mengangkut semangka 2,35 ton. Ternyata 182 ½ kg semangka busuk. Semangka yang tidak busuk dijual dengan harga Rp 2.750,00 per kg. Berapa hasil penjualan semangka tersebut ?
6.Pak Hasan mempunyai sebidang tanah dengan panjang 148 meter dan lebar 112,5 meter. Berapa are luas tanah Pak Hasan ?
7.Bak penampungan air berukuran panjang 7,5 meter, lebar 5 meter dan tinggi 1,8 meter. Berapa liter air yang dapat ditampung ?
8.Untuk keperluan pembangunan rumah, ayah memerlukan truk batu bata. Isi setiap truk 3.625 batu bata. Jika batu bata tersebut dikelompokkan menjadi tiga kelompok sama banyak, maka berapa batu bata setiap kelompoknya.
9.Paman seorang pengusaha pengemasan ikan banding. Berat seekor ikan banding 0,08 kg. Isi setiap kardus 60 ekor. Bila setiap hari paman dapat mengemas 45 kardus, berapa ton ikan banding yang dikemas paman selama 25 hari ?
10.Selisih uang Rohim dan Sugeng adalah Rp 6.000,00. Perbandingan uang mereka 9 : 5. Berapa rupiah jumlah uang mereka ?
11.Jarak kota A sampai kota B 60 km. Ali mulai bersepeda dari kota A ke kota B pukul 08.55 dengan kecepatan rata-rata 15 km/jam. Pada waktu yang sama Husen berangkat dari kota A ke kota B dengan kecepatan 20 km/jam. Setelah menempuh perjalanan 2 jam, Husen beristirahat sambil menanti Ali. Berapa lama Husen beristirahat sampai tersusul Ali ?
12.Panjang jalan yang menghubungkan desa A ke desa B 2,8 km. Jalan yang belum diaspal 14 2/7 % dari panjang jalan. Berapa meter jalan yang sudah diaspal ?
13.Seorang pengusaha fotokopi rata-rata membutuh,an 275 lembar kertas setiap 15 menit. Bila fotokopi itu rata-rata diperkerjakan selama 5 ¼ jam setiap harinya, berapa rim kertas yang dibutuhkan untuk 8 hari ?
14.Seorang pengrajin mempunyai balok kayu dengan ukuran panjang 3 m, lebar 51 cm dan tinggi 36 m. Balok itu dipotong menjadi 4 bagian sama panjang. Lebar setiap bagian dibelah menjadi 17 bagian yang sama. Berapa cm3 volume 25 bagian potongan balok itu ?
15.Di ruang pentas seni ada 3 lampu, lampu merah menyala setiap 12 detik, lampu hijau menyala setiap 15 setik, sedangkan lampu kuning menyala setiap 20 detik. Jika awalnya lampu itu menyala bersama-sama, maka setiap berapa detik lampu itu akan menyala bersama-sama lagi ?
16.Seorang pedagang membeli beras 2,04 ton. Agar penjualnnya mudah dan cepat beras itu dimasukkan ke dalam kantong-kantong kecil. Bila isi setiap kantong rata-rata 1/5 kuintal, berapa kantong yang dibutuhkan untuk mengemas seluruh beras itu ?
17.Berat badan Ibu 5/7 berat badan Ayah. Jika berat Ayah 63 kg, berapakah berat badan Ibu ?
18.Suraya membeli 2 ½ kg gula. Sebanyak 1 ¾ kg gula dipakai untuk membuat kue. Bibinya datang memberi 2 kg gula. Berapa kg gula Suraya sekarang ?
19.Gambarlah bangun layang-layang yang mempunyai sudut atas bawah 60o serta masing-masing sudut kanan kiri 90 o !
20.Jarak kota A dengan kota B pada peta 5 cm. Skala peta 1 : 500.000. Berapa jarak sesungguhnya kota A dengan kota B ?
21.Gambarlah segiempat ABCD pada bidang koordinat dengan ketentuan titik A(2, 1), B(-1, 2), C(-2, 2) dan D(1, -2) !
22.Telepon A berdering setiap 12 menit dan telepon B berdering setiap 6 menit. Jika kedua telepon berdering bersama pada pukul 08.20 pada pukul berapa kedua telepon akan berdering bersama-sama lagi ?
23.Ibu membeli 3/5 meter pita. Pita itu diberikan kepada Ana ¼ meter. Kemudian Ibu membeli lagi 3/2 meter. Berapa meter pita Ibu sekarang ?
24.Jarak kota A ke kota B dalam peta 10 cm. Hitunglah jarak sebenarnya jika diketahui skala peta 1 : 1.000.0000 !
25.Jarak Semarang-Kudus adalah 58 km. Arman bersepeda motor dari Semarang pukul 07.45 dan sampai Kudus pukul 09.45. Berapakah kecepatan rata-rata perjalanan Arman ?
26.Farid mempunyai 6 buah tali, panjang masing-masing tali 70 cm, 200 mm, 5000 mm, 20 cm, 300 mm dan 10 cm. Dari keenam tali tersebut dihubungkan menjadi 2 buah tali sama panjang. Berapa panjang masing-masing tali ?
27.Perbandingan umur Ayah dan umur Ibu adalah 3 : 2. Jika umur Ibu 42 tahun, hitunglah umur Ayah !
28.Ani mempunyai sejumlah uang. 5/9 dari uang itu diberikan kepada adiknya. Kemudian Ibu Ani memberi uang yang jumlahnya sama dengan 8/9 bagian dari uang Ani. Berapa banyak uang Ani sekarang, jika uang Ani mula-mula Rp 6.000,00 ?
29.Lebar langkah kaki Ayah 40 cm. Sedangkan langkah kaki Adik 32 cm. Keduanya berjalan bersama-sama menuju tempat ibadah. Setiap langkah langkah keberapa kedua-duanya bersama-sama menginjakkan telapak kaki ke tanah ?
30.Seorang pedagang mempunyai 55 kg beras. Sebanyak 4/5 bagian dari beras laku terjual. Berapa kg beras yang belum terjual ?
31.Sebuah rumah diselesaikan dalam waktu 5 bulan, 3 minggu lebih 5 hari. Berapa hari rumah tersebut diselesaiakan ?
32.Aku berjalan 12 langkah ke depan. Setelah sampai di tujuan, aku mundur lagi dengan jumlah langkah yang sama. Apabila langkah mundurku ditulis dalam bilangan bulat, berapakah itu ?
33.Ibu ke pasar membeli 3 ½ kg gula, 4 ¼ kg beras, dan 2 ¾ kg garam. Sesampainya di rumah, 2 ½ kg beras tanak. Berapa berat siswa belanjaan Ibu ?
34.Pada sebuah peta jarak kota A ke kota B adalah 2 cm, kota B ke kota C 4 cm, dan kota C ke kota D 3 cm. Skala pada peta 1 : 523.000 ! Carilah jarak dari kota A ke kota D melalui kota B dan C yang sebenarnya !
35.Berat badan Ibu : Adik = 11 : 1. Saat Ibu menggendong Adik, berat keduanya adalah 60 kg. Berapa kg berat badan Adik ?
36.Sebuah toko buku untung 18 % dari modal awal Rp 165.000.000,00. Berapa jumlah keuntungan ditambah modal toko buku tersebut ?
37.Suhu di dalam sebuah lemari es minus 10o C. Berapa derajat suhunya bila diukur dengan termometer Reamur ? Apabila diukur dengan termometer Fahrenheit apakah hasilnya juga minus ?
38.Tarif telepon ke New York Rp 70.000,00 per menit. Jika kakak menelepon temannya di New York selama 4 menit 40 detik, berapakah biayanya ?
39.Bahri berangkat berlayar mencari ikan pada pukul 23.00. Saat kembali ke darat waktu menunjukkan pukul 03.30. Berapa lama Bahri berlayar mencari ikan ?
40.Perbandingan umur Andi dan Parman adalah 5 : 3. Umur Paman : Sholeh = 4 : 3. Jumlah umur ketiganya 82 tahun. Berapakah umur Paman ?

Sumber :
http://istiyanto.com